Pendahuluan
Perjalanan sejarah bangsa telah mencatat bahwa perubahan
pergantian kurikulum pendidikan yang semestinya mengantarkan bangsa dan rakyat
Indonesia untuk eksis dalam percaturan global ternyata justru terbalik dengan
kenyataan yang ada. Negeri ini malah kian terpuruk dan tertinggal dengan
bangsa-bangsa lain.
Oleh karena itu, dengan membuka lembaran sejarah kurikulum
di Indonesia, diharapkan pemerintah dan segenap komponen bangsa yang terkait
langsung menangani pendidikan di Indonesia untuk mencari formulasi yang ideal
dalam mengembangkan kurikulum yang bernuansa global, kuat dalam visi dan tidak
menghilangkan nuansa kepribadian bangsa Indonesia.
Menilik benang merah sejarah Indonesia merdeka, haruslah
diakui bahwa politik “etis” kolonial Belanda sekitar tahun 1900-an yang
bersifat setengah hati, karena tuntutan abad pencerahan di Eropa, telah
memberikan semangat nasionalisme dan intelektualisme. Pendidikan diyakini
sebagai jembatan emas menuju pencerahan dan kemerdekaan bangsa. Tokoh-tokoh
seperti Wahidin Sudirohusodo, Soewardi Suryaningrat atau yang dikenal sebagai
Ki Hajar Dewantoro, Soekarno dan Muhammad Hatta adalah contohnya.
Jika kemudian, setelah 60 tahun lebih Indonesia merdeka,
tunas-tunas bangsa tidak semuanya dapat mengenyam pendidikan yang layak bagi
kemanusiaan, inilah persoalan bangsa yang seharusnya menjadi perhatian serius
pemerintah dan semua pihak.
Sementara itu, bagaimana peran kurikulum dalam proses
pendidikan ? Hal ini tentu saja merupakan faktor yang sangat penting untuk
diperhatikan, sebab kurikulum adalah jantungnya pendidikan. Oleh sebab itu,
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana telah diamanatkan UUD
1945, adalah menjadi tugas utama pendidikan yang digariskan dalam kurikulumnya.
Undang-undang No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan
Nasional menjelaskan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dari pengaturan
mengenai isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar (Pasal 1). Demikian pula bahwa untuk
mewujudkan tujuan pendidikan nasional kurikulum disusun, dengan memperhatikan
tahap perkembangan peserta didik dan kesesuaiannya dengan lingkungan, kebutuhan
pembangunan nasional. Perkembangan IPTEK, serta kesenian sesuai dengan jenis
dan jenjang masing-masing satuan pendidikan (Pasal 37).
Mencermati pasal 1 dan 37 Undang-undang tersebut dalam
perkembangan masyarakat global, khususnya yang menyangkut IPTEK, seharusnya
Indonesia menjadi bagian dari kompetisi itu. Untuk itu, segala perkembangan
masyarakat dunia perlu menjadi masukan sebagai bahan kajian serta diterapkan
dalam pola-pola kehidupan masyarakat Indonesia. Fenomena tersebut akan menjadi
bahan acuan dalam upaya pengembangan kehidupan masyarakat di segala bidang,
khususnya dalam penyusunan kurikulum pendidikan. Dengan demikian peran dan
fungsi kurikulum bagi proses pendidikan adalah sebagai acuan pokok di dalam
pelaksanaan proses pendidikan. Dengan demikian, maka seharusnya kurikulum tidak
mengatur secara detail mengenai bagaimana proses atau teknisnya, tetapi
persoalan ini diberikan kepada sekolah untuk pengelolaannya dengan manajemen
berbasis sekolah (MBS), alasannya adalah tidak semua sekolah di Indonesia
memiliki karakteristik yang sama. Oleh karena itu muatan lokal kurikulum
diberikan kepada sekolah atau daerah.
Hal itu sesuai dengan pasal 38 ayat 3 UU Sisdiknas No. 20
Tahun 2003, bahwa kurikulum Dikdasmen dikembangkan sesuai dengan relevansi
setiap kelompok atau satuan pendidikan dan komite sekolah atau madrasah (Nyoman
S, 2000)
Implementasi kurikulum pendidikan pada tingkat pembelajaran
di sekolah merupakan tanggung jawab guru dan sekolah dalam bentuk kegiatan
belajar mengajar, baik besaran atau banyaknya jam pelajaran, maupun evaluasinya
sebagai bagian terpadu dari strategi belajar mengajar yang direncanakan dengan
baik (S. Prasetyo Utomo, 2006).
Permasalahan
Mencermati uraian di atas, ada tiga permasalahan yang akan
dikupas dalam makalah ini, yaitu :
- Bagaimana kurikulum pendidikan menjadi bagian dari kepentingan birokratis politis ?
- Bagaimana perbandingan kurikulum di Indonesia ditinjau dari sejarah pelaksanaannya ?
- Bagaimana sebaiknya guru dan sekolah menyikapi perubahan kurikulum pendidikan ?
Pembahasan
- Pendidikan dan Kepentingan Birokratis Politis
Sejak kurikulum pendidikan pertama diberlakukan (kurikulum
1947) hingga sekarang, tampaknya ada degenerasi dalam hal tujuan pendidikan.
Bahkan elitisme dan komersialisasi pendidikan semakin mereduksi makna
pendidikan dan mengancam nilai-nilai moral dan idealisme pendidikan itu
sendiri.
Catatan Shindunata dalam sampul majalah Basis menggaris
bawahi, “Bahwa pendidikan hanya menghasilkan air mata”. Ilustrasinya berupa air
mata meleleh dari kelopak mata seorang ayah yang tertusuk pulpen
Banyak ahli dan pemerhati pendidikan sangat prihatin. Bahkan
ada yang menarik tali sejarah lebih panjang lagi ke zaman Jepang sejak masuknya
tahun 1942 sebagai masa yang dilansir oleh Selamet Imam Santoso (1995). Praktik
pendidikan di Indonesia sudah mengalami keterpurukan sejak zaman Jepang dan
bersambung sampai zaman kemerdekaan. Ada mitologi yang berkembang, bahwa baik
tidaknya pendidikan nasional, senantiasa hanya dilihat sebagai solusi
keterpurukan bangsa (Sularto, ST, 2005).
Empat bulan setelah Indonesia merdeka, dunia pendidikan
nasional mulai dibenahi. Pada tahun 1947 terbentuklah “Sistem Persekolahan”
sesuai dengan UUD 1945, termasuk Sekolah Rakyat (SR) enam tahun. Sistem itu
sempat dipraktikkan dan dikembangkan, barulah tahun 1960 tersusun undang-undang
yang menjadi paying hukum kegiatan pendidikan.
Sesuai dengan keputusan MPRS No. II/MPRS/1960 tentang
Manusia Sosialis Indonesia, disusunlah rumusan Induk Sistem Pendidikan Nasional
berdasarkan Keppres No. 14 Tahun 1965. Kemudian keluar dari Keppres No. 19
Tahun 1965 tentang pokok-pokok Sistem Pendidikan Nasional Pancasila. Jiwa dan
Visi kurikulum adalah gotong royong dan demokrasi terpimpin.
Orde lama runtuh, keluar Ketetapan MPRS No. XXVII / MPRS
/1966 yang berisi tentang tujuan pendidikan nasional “membentuk manusia
Pancasila sejati berdasarkan ketentuan seperti yang termaktub dalam Pembukaan
UUD 1945”. Lalu kurikulum 1968 lahir sebagai sebuah pedoman praktik pendidikan
yang tersusun untuk pertama kalinya.
Menurut kurikulum ini, tujuan pendidikan nasional adalah :
mempertinggi mental, moral, budi pekerti dan memperkuat keyakinan beragama,
mempertinggi kecerdasan dan keterampilan, serta membina dan mengembangkan fisik
yang kuat dan sehat.
- Gambaran dan Ciri-ciri Kurikulum Pendidikan di Indonesia dalam Perkembangan Sejarah
Berikut ini sekilas diuraikan tentang gambaran dan ciri-ciri
kurikulum pendidikan di Indonesia sebagaimana dikemukakan oleh Azwar Abdullah
(2007, 243-250).
- Kurikulum 1947
Kurikulum yang pertama kali diberlakukan di sekolah
Indonesia pada awal kemerdekaan ialah kurikulum 1947 yang dimaksudkan untuk
melayani kepentingan bangsa Indonesia. Penerbitan UU No. 4 tahun 1950
merumuskan pula tujuan kurikulum menurut jenjang pendidikan. Sekolah
mengharuskan menyempurnakan kurikulum 1947 agar lebih disesuaikan dengan
kebutuhan dan kepentingan bangsa Indonesia. Berikut ini ciri-ciri Kurikulum
1947 : a) sifat kurikulum Separated Subject Curriculum (1946-1947), b)
menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar di sekolah, c) jumlah
mata pelajaran : Sekolah Rakyat (SR) – 16 bidang studi, SMP-17 bidang studi dan
SMA jurusan B-19 bidang studi, dan d) materi pendidikan dan pengajaran : Mr.
Soewandi.
- Kurikulum 1968
Kurikulum 1968 ditandai dengan pendekatan peng-organisasian
materi pelajaran dengan pengelompokan suatu pelajaran yang berbeda, yang
dilakukan secara korelasional (correlated subject curriculum), yaitu mata pelajaran yang satu dikorelasikan dengan mata
pelajaran yang lain, walaupun batas demarkasi antar mata pelajaran masih
terlihat jelas. Muatan materi masing-masing mata pelajaran masih bersifat
teoritis dan belum terikat erat dengan keadaan nyata dalam lingkungan sekitar.
Pengorganisasian mata pelajaran secara korelasional itu berangsur-angsur
mengarah kepada pendekatan pelajaran yang sudah terpisah-pisah berdasarkan
disiplin ilmu pada sekolah-sekolah yang lebih tinggi. Berikut ciri-ciri
kurikulum 1968 : a) sifat kurikulum correlated subject, b) jumlah mata
pelajaran SD-10 bidang studi, SMP-18 bidang studi (Bahasa Indonesia dibedakan
atas Bahasa Indonesia I dan II), SMA jurusan A-18 bidang studi, c) penjurusan
di SMA dilakukan di kelas II, dan disederhanakan menjadi dua jurusan, yaitu
Sastra Sosial Budaya dan Ilmu Pasti Pengetahuan Alam (PASPAL), dan d) Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Mashuri, SH (1968 – 1973).
- Kurikulum 1975
Di dalam kurikulum 1975, pada setiap bidang studi
dicantumkan tujuan kurikulum, sedangkan pada setiap pokok bahasan diberikan
tujuan instruksional umum yang dijabarkan lebih lanjut dalam berbagai satuan
bahasan yang memiliki tujuan instruksional khusus. Dalam proses pembelajaran,
guru harus berusaha agar tujuan instruksional khusus dapat dicapai oleh peserta
didik, setelah mata pelajaran atau pokok bahasan tertentu disajikan oleh guru.
Metode penyampaian satun bahasa ini disebut prosedur Pengembangan Sistem
Instruksional (PPSI). Melalui PPSI ini dibuat satuan pelajaran yang berupa
rencana pelajaran setiap satuan bahasan. Berikut ini ciri-ciri kurikulum 1975 :
a) sifat kurikulum Integrated
Curriculum Organization, b)
jumlah mata pelajaran berdasarkan tingkatan SD mempunyai struktur program, yang
terdiri atas 9 bidang studi termasuk mata pelajaran PSPB, pelajaran ilmu alam
dan ilmu hayat digabung menjadi satu dengan nama Ilmu Pengetahuan Alam (IPA),
Pelajaran Ilmu Aljabar dan Ilmu Ukur digabung menjadi satu dengan nama Matematika.
JUmlah mata pelajaran di SMP dan SMA menjadi 11 bidang studi, c) penjurusan di
SMA dibagi atas 3 yaitu : jurusan IPA, IPS dan Bahasa, penjurusan dimulai di
kelas I, pada permulaan semester II, dan d) Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Dr. Syarif Thayeb (1973-1978).
- Kurikulum 1984
Kurikulum 1984 pada hakikatnya merupakan penyempurnaan dari
kurikulum 1975. Asumsi yang mendasari penyempurnaan kurikulum 1975 ini adalah
bahwa kurikulum merupakan wadah atau tempat proses belajar mengajar berlangsung
yang secara dinamis, perlu senantiasa dinilai dan dikembangkan secara terus
menerus sesuai dengan kondisi dan perkembangan masyarakat. Berikut ciri-ciri
kurikulum 1984 : a) sifat kurikulum content based curriculum,
b) program mata pelajaran mencakup 11 bidang studi, c) jumlah mata pelajaran di
SMP 11 bidang studi, d) jumlah mata pelajaran di SMA-15 bidang studi untuk
program inti dan 4 bidang studi untuk program pilihan, e) penjurusan di SMA
dibagi atas 5 (lima) jurusan, yaitu : program A1 (ilmu fisika), program A2
(ilmu biologi), program A3 (ilmu sosial), program A4 (ilmu budaya), program A5
(ilmu agama), f) Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Prof. Dr. Nugroho
Notosusanto (1983-1985).
- Kurikulum 1994
Dengan mendasarkan kepada seluruh proses penyusunan
kurikulum pada ketentuan-ketentuan yuridis dan akademis di atas, maka
diharapkan kurikulum 1994 telah mampu menjembatani semua kesenjangan yang
terdapat dalam dunia pendidikan di sekolah. Namun, harapan itu sepertinya tidak
terwujud sebagaimana diperlihatkan oleh sedemikian banyak dan gencarnya keluhan
pengelola pendidikan mengenai berbagai kelemahan dan kekurangan kurikulum 1994.
Adapun ciri-ciri kurikulum 1994 adalah sebagai berikut : a) sifat kurikulum objective based curriculum, b) nama SMP dan SLTP kejuruan diganti menjadi SLTP
(Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama), c) mata pelajaran PSBP dan keterampilan
ditiadakan, program pengajaran SD dan SLTP disusun dalam 13 mata pelajaran,
nama SMA diganti SMU (Sekolah Menengah Umum), d) program pengajaran di SMU
disusun dalam 10 mata pelajaran, e) penjurusan di SMU dilakukan di kelas II, f)
penjurusan dibagi atas tiga jurusan, yaitu jurusan IPA, IPS, dan Bahasa, g) SMK
memperkenalkan program pendidikan sistem ganda (PSG) dan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan adalah Prof. Dr. Ing. Wadiman Djoyonegoro (1993-1998).
Aspek yang dikedepankan dalam kurikulum 1994 ialah terlalu
padat, sehingga sangat membebani siswa yang berpengaruh pada merosotnya
semangat belajar siswa, sehingga mutu pendidikan pun semakin terpuruk.
Akibatnya adalah siswa enggan belajar lama di sekolah. Jika sejak awal siswa
dicemaskan dengan mata pelajaran yang menjadi momok di sekolah, maka mereka
akan menjadi bosan dan kegiatan belajar mengajar menjadi menyebalkan.
Selain itu, penetapan target kurikulum 1994 dinilai dan
dikecam berbagai pihak antara lain sebagai dosa teramat besar dari departemen
pendidikan dan kebudayaan yang mengakibatkan kemerosotan kualitas pendidikan
secara berkesinambungan tanpa henti (Darmawan, Suara Pembaharuan, 2002) bahwa
adanya target kurikulum telah menjadi salah satu factor pemicu untuk
penggantian kurikulum baru. Kurikulum 1994 yang padat dengan beban yang telah
menghambat diberlakukannya paradigma baru pendidikan dari siswa kepada guru,
yang menuntut banyak waktu untuk menyampaikan pandangan dalam rangka
pengelolaan pendidikan. Kurikulum yang padat juga melanggengkan konsep
pengajaran satu arah, dari guru murid, karena apabila murid diberikan kebebasan
mengajukan pendapat, maka diperlukan banyak waktu, sehingga target kurikulum
sulit untuk tercapai.
Kesan umum dari kurikulum 1994 pada tingkat SMU, adalah
jenjang sekolah ini memberikan tekanan kuat, pada upaya mengarahkan siswa untuk
melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Praktis tidak ada ruang yang secara
langsung dimaksudkan untuk menyiapkan siswa memasuki dunia kerja, antara lain
tampak dari tiadanya jam muatan lokal, dan dihapuskannya mata pelajaran
keterampilan. Hal ini tampaknya berlandaskan pada isyarat pasal 3 ayat (1) PP
No. 29 / 1990. yang menyatakan, “Pendidikan menengah umum mengutamakan
persiapan siswa untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi.”
Memang, secara ideal itu sah-sah saja. Tapi dalam
kenyataannya, tidak semua lulusan SMU setiap tahun yang mengikuti UMPTN dapat
diterima, hanya sekitar 10 % saja yang lolos. Sebagian, lulusan SMU memang
ditampung oleh Perguruan Tinggi Swasta (PTS), tapi itu hanya ada separuhnya.
Selebihnya mengambil kursus atau terjun langsung ke masyarakat dan mencari
kerja. Padahal mereka tidak disiapkan untuk itu, kecuali dengan bekal yang
diperolehnya dari materi program pengajaran umum dan khusus. Jadi, mereka
dihadapkan pada situasi antara berenang dan tenggelam (Dedi Supriadi, 1997).
1.
Kurikulum
2004
Harapan masyarakat terhadap kurikulum pendidikan di
Indonesia, pada hakikatnya adalah adanya komunikasi dua arah yang memungkinkan
kegiatan belajar mengajar menjadi interaktif dan menyenangkan, baik bagi siswa
maupun bagi guru. Belajar menyenangkan itulah sebenarnya konsep pendidikan yang
dapat membawa peserta didik (siswa) untuk menguasai kompetensi akademik,
kompetensi sosial, dan kompetensi kepribadian. Harapan-harapan inilah yang
seharusnya diakomodasi di dalam penyusunan kurikulum.
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang hanya berlaku
sampai tahun 2006 di sekolah-sekolah pada dasarnya adalah merupakan gagasan
dari Kurikulum Berbasis Kemampuan Dasar (KBKD) yang pernah diperkenalkan oleh
Boediono dan Ella (1999), yang memfokuskan pada wujud pertumbuhan dan perkembangan
potensi peserta didik. KBK merupakan perangkat rencana dan pengaturan tentang
kompetensi dan hasil belajar yang harus dicapai oleh siswa, penilaian, kegiatan
belajar mengajar, dan pemberdayaan sumber daya pendidikan dalam pengembangan
kurikulum sekolah. Berikut ini ciri-ciri kurikulum 2004 (KBK) : a) sifat
kurikulum Competency
Based Curriculum, b) penyebutan SLTP menjadi SMP, c)
penyebutan SMU menjadi SMA, d) program pengajaran di SD disusun dalam 7 mata
pelajaran, e) program pengajaran di SMP disusun dalam 11 mata pelajaran, f)
program pengajaran di SMA disusun dalam 17 mata pelajaran, g) penjurusan di SMA
dilakukan di kelas II, h) penjurusan dibagi atas 3 jurusan, yaitu : Ilmu Alam,
Ilmu Sosial, dan Bahasa, dan i) Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Prof. H.
Abdul Malik Fajar (2001-2004).
Berhubung kurikulum 2004 yang memfokuskan aspek kompetensi
siswa, maka prinsip pembelajaran adalah berpusat pada siswa dan menggunakan
pendekatan menyeluruh dan kemitraan, serta mengutamakan proses pembelajaran
dengan pendekatan kontekstual (contextual teaching and learning atau CTL)
Dalam pelaksanaan kurikulum yang memegang peranan penting
adalah guru. Guru diibaratkan manusia dibalik senjata kosong yang tidak
berpeluru. Oleh karena itu, diperlukan kreativitas guru untuk mengisi senjata
itu dan membidiknya dengan cermat dan tepat mengenai sasaran. Keberhasilan
kurikulum lebih banyak ditentukan oleh kualitas dan kompetensi guru. Oleh
karenanya, tidak berlebihan apabila dalam diskusi mengenai “Potret Pendidikan
di Indonesia dan Peran Guru Swasta”, J. Drost (2002) menegaskan bahwa materi
kurikulum, terutama untuk mata pelajaran dasar, di seluruh dunia pada dasarnya
sama. Yang membedakannya adalah cara guru mengajar di depan kelas.
Inti dari KBK atau kurikulum 2004 adalah terletak pada empat
aspek utama, yaitu : 1) kurikulum dan hasil belajar, 2) pengelolaan kurikulum
berbasis sekolah, 3) kegiatan belajar mengajar, dan 4) evaluasi dengan
penilaian berbasis kelas.
Kurikulum dan hasil belajar memuat perencanaan pengembangan
kompetensi peserta didik yang perlu dicapai secara keseluruhan sejak lahir
sampai usia 18 tahun. Kurikulum dan hasil belajar ini memuat kompetensi, hasil
belajar dan indikator dari TK (Taman Kanak-kanak) dan Raudhatul Athfal (RA)
sampai dengan kelas XII (kelas III SMA). Penilaian berbasis kelas memuat
prinsip, sasaran dan pelaksanaan penilaian berkelanjutan yang lebih akurat dan
konsisten sebagai akuntabilitas publik melalui identifikasi kompetensi atau
hasil belajar yang telah dicapai, pernyataan yang jelas tentang standar yang
harus dan telah dicapai, serta peta kemajuan belajar siswa dan pelaporan.
Kegiatan belajar mengajar memuat gagasan pokok tentang pembelajaran dan
pengajaran untuk mencapai kompetensi yang ditetapkan, serta gagasan-gagasan
pedagogis dan andragogis yang mengelola pembelajaran agar tidak mekanistik.
Pengelolaan kurikulum berbasis sekolah memuat berbagai pola pemberdayaan tenaga
kependidikan dan sumber daya lain untuk meningkatkan mutu hasil belajar. Pola
ini dilengkapi pula dengan gagasan pembentukan jaringan kurikulum (curriculum council), pengembangan perangkat kurikulum, antara lain silabus,
pembinaan professional tenaga kependidikan, dan pengembangan sistem informasi
kurikulum.
Peran dan tanggung jawab dalam pengelolaan kurikulum
berbasis sekolah diberikan kepada sekolah. Dinas Pendidikan Kabupaten / Kota,
Dinas Pendidikan Provinsi dan Tingkat Pusat. Peran dan tanggung jawab sekolah
untuk meningkatkan komunikasi dengan berbagai pihak untuk mensosialisasikan
konsep KBK, menetapkan tahap dan administrasi KBK, menata ulang KBK penempatan
guru pada kelas secara optimal, memberdayakan semua sumber daya dan dana
sekolah, termasuk dalam melibatkan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah untuk
pelaksanaan kurikulum secara bermutu (Puskur, Balitbang Depdikbud, 2002)
KBK dikembangkan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut:
1.
menekankan pada pencapaian kompetensi siswa
2. kurikulum dapat diperluas, diperdalam dan disesuaikan
dengan potensi siswa.
3.
berpusat pada siswa.
4.
berorientasi pada proses dan hasil.
5. pendekatan dan metode yang digunakan beragam dan bersifat
kontekstual
6. guru bukan satu-satunya sumber ilmu pengetahuan (siswa
dapat belajar dari apa saja)
7. buku pelajaran bukan satu-satunya sumber belajar.
8. belajar sepanjang hayat dengan bertumpu pada empat pilar
pendidikan kesejagatan:
–
belajar mengetahui (learning
how to know)
–
belajar melakukan (learning
how to do)
–
belajar menjadi diri sendiri (learning how to be)
– belajar hidup dalam keberagaman (learning how to live together)
- Kurikulum 2006 (KTSP)
Kurikulum 2006 atau yang dikenal dengan nama Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) merupakan kurikulum operasional pendidikan
yang disusun dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan yang berlaku
dewasa ini di Indonesia. KTSP diberlakukan mulai tahun ajaran 2006/2007 yang
menggantikan kurikulum 2004 (KBK). Kurikulum ini lahir seiring dengan
pemberlakuan Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem pendidikan
Nasional serta Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan. Salah satu perbedaan KTSP dibandingkan dengan kurikulum
yang pernah berlaku sebelumnya di Indonesia adalah terletak pada sistem
pengembangannya. Pengembangan kurikulum sebelum KTSP dilakukan secara terpusat
(sentralistik), sedangkan KTSP merupakan kurikulum operasional yang
dikembangkan oleh satuan pendidikan dengan memperhatikan karakteristik dan
perbedaan daerah (desentralistik).
KTSP terdiri dari tujuan pendidikan tingkat satuan
pendidikan, struktur dan muatan kurikulum, kalender pendidikan, dan silabus.
Secara substantive, pemberlakuan kurikulum 2006 merupakan implementasi regulasi
yang telah dikeluarkan yaitu PP no 19 tahun 2005 tentang standar nasional
pendidikan. Akan tetapi, esensi isi dan arah pengembangan pembelajaran tetap
masih bercirikan tercapainya paket-paket kompetensi (Standar Kompetensi dan
Kompetensi Dasar) dan bukan pada tuntas tidaknya sebuah subject matter.
Dengan demikian, kurikulum 2006 memiliki ciri-ciri sebagai
berikut:
- Menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa, baik secara individual, maupun klasikal.
- Berorientasi pada hasil belajar (learning out comes) dan keberagaman.
- Penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi.
- Sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsure edukatif.
- Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi.
Sebagai
kurikulum operasional di tingkat satuan pendidikan, KTSP memiliki peluang untuk
dikembangkan oleh satuan pendidikan dengan berpedoman pada prinsip-prinsip:
- Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya.
- Beragam dan terpadu.
- Tanggap terhadap perkembangan Iptek .
- Relevan dengan kebutuhan masa kini dan masa datang.
- Menyeluruh dan berkesinambungan
- Belajar sepanjang hayat
- Seimbang antara kepentingan nasional dan daerah.
Pada hakikatnya
KTSP merupakan kelanjutan dari kurikulum 2004. Sebab
tidak banyak perubahan berarti yang dilakukan. Yang tampak jelas berubah adalah
penentuan mata pelajaran masing-masing bidang studi dengan penjabaran
aspek-aspeknya. Persoalan baru itulah yang dirasakan oleh guru menjadi beban
berat. Belum lagi soal kerepotan dan kerumitan nilai dalam proses evaluasi
belajarnya.
Dengan dasar Permendiknas Nomor 22, 23 dan 24 tentang
Standar Isi (SI) dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) serta peraturan
pelaksanaannya, maka kurikulum 2006 diberlakukan untuk menyempurnakan kurikulum
sebelumnya yang baru berusia dua tahun.
Dalam pelaksanaannya kurikulum terbaru tersebut mengalami
berbagai kendala. Terutama persoalan minimnya sosialisasi dan kesiapan sarana
dan prasarana pendukung pendidikan dan terutama sekali kesiapan guru dan
sekolah untuk menyusun dan mengembangkan kurikulum sendiri. Namun oleh
Depdiknas persoalan itu diantisipasi dengan diluncurkannya panduan KTSP yang
disusun oleh BSNP. Kenyataannya sampai saat ini kurikulum 2006 itu terkesan
masih dijalankan dengan setengah hati karena berbagai kebijakan dan landasan
yuridisnya belum dipenuhi secara konsekuen oleh pemerintah.
Perbedaan mendasar yang terdapat dalam kurikulum 2006
dibandingkan kurikulum sebelumnya adalah kurikulum 2006 bersifat desentralistik
artinya sekolah diberi kewenangan secara penuh untuk menyusun rencana
pendidikan dengan mengacu pada standar yang telah ditetapkan (SI dan SKL) mulai
dari tujuan, visi dan misi, struktur dan muatan kurikulum, beban belajar,
kalender pendidikan, hingga pengembangan silabusnya. Namun, kewenangan dan
kebebasan sekolah tersebut dalam penyelenggaraan program pendidikannya tetap
harus disesuaikan dengan (1) Kondisi lingkungan sekolah, (2) kemampuan peserta
didik, (3) sumber belajar yang tersedia, dan (4) kekhasan daerah. Dalam
pelaksanaannya, orang tua dan masyarakat dapat berperan dan terlibat secara
aktif sebagai mitra sekolah dalam mengembangkan program pendidikannya.
- Bongkar Pasang Kurikulum
Dikembangkannya berbagai uji coba kurikulum, mulai dari
apresiasi atas peran swasta, seperti penggunaan system modul atau sekolah
pembangunan yang berorientasi pada kerja, sampai pada uji coba sistem cara
belajar siswa aktif (CBSA), tampaknya tidak menyurutkan hasrat pemerintah untuk
selalu melakukan berbagai upaya penggantian dan uji coba kurikulum.
Kesempatan memberikan apresiasi pada peran swasta pada
awalnya tampak bagus, namun pada akhirnya setelah melihat kondisi liberatif,
pemerintah kemudian mengambil alih kendali seluruh praktik pendidikan.
Pendidikan yang tadinya liberatif desentralistis, ditarik kembali ke semangat
deliberatif dan sentralistis. Pihak swasta tidak lagi dipandang sebagai
partner, tetapi sebagai pesaing. Kini otonomi daerah diberlakukan seiring
dengan reformasi pemerintahan. Namun lagi-lagi, masalah pendidikan yang
diotonomikan di daerah di seluruh Indonesia, tidak lebih baik dari
sebelumnya.Timbul banyak masalah, mulai dari penyalahgunaan Dana Bantuan
Operasional (BOS) sekolah, sampai pada pengangkatan Guru Bantu dan Tenaga
Honorer yang carut marut (Susanto dan Rejeki, Kompas, 11 Juli 2005).
Ketika kurikulum 1968 dicabut dan digantikan dengan
kurikulum 1975, tidak membuat praktek pendidikan di tanah air semakin membaik.
Bahkan ketika sekolah belum semua menggunakan kurikulum 1975, mulai dirasakan,
bahwa kurikulum ini sudah tidak bisa mengejar kemajuan pesat masyarakat.
Kemudian lahirlah kurikulum 1984. Sebagai tindak lanjutnya maka pemerintah
menerbitkan UU No. 2 Tahun 1989. Undang-undang yang dihasilkan secara terencana
lewat sebuah panitia penilai pun tidak lepas dari kritik. Kurikulum 1984
kemudian dianggap sangat sarat dengan beban, lantas muncul lagi kurikulum baru
1994 yang lebih sederhana. Lagi-lagi kepentingan politik praktis lebih menonjol
ketimbang berpijak dan berpihak pada kepentingan guru dan anak didik.
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 2 tahun 1989
pun dibanti, dan setelah lewat proses yang panjang dan menuai banyak kritik,
baru terealisasi pada tahun 2003. Bersamaan dengan lahirnya Undang-undang
Sistem Pendidikan Nasional yang baru, maka hadir pula kurikulum baru 2004 atau
kurikulum berbasis kompetensi (KBK), yang isinya memuat sejumlah kompetensi
yang harus dikuasai oleh setiap lulusan (Permanasari, Kompas, 30 Desember
2005).
Dalam praktek di lapangan, jangankan KBK, di banyak daerah
pedalaman Indonesia, masih ada sekolah yang belum sempat mempraktekkan
kurikulum 1994, seperti yang diungkapkan oleh dua orang guru dari pedalaman
Tapanuli Selatan Sumatera Utara, masing-masing Ridwan Dalimunthe dan Raja Dima
Siregar (Sularto, ST, Kompas, 16 Agustus 2005)
Meskipun selalu dibungkus dengan istilah penyempurnaan
pergantian kurikulum, tetap tidak terhindarkan dari kegiatan perombakan
kebijakan. Kita menghargai adanye pembenahan kurikulum yang belum sempat
tersosialisasi dengan baik, namun perlu mendapatkan pengkajian dan riset
terlebih dahulu dari berbagai aspek, termasuk memperhitungkan kelengkapan
sarana persekolahan, dan kesiapan guru dan murid. Pertimbangannya adalah
apabila penggantian kurikulum tidak dibarengi dengan pembenahan infrastruktur
dan standar pelayanan yang baik, ujung-ujungnya adalah kurikulum baru akan
tetap tidak merakyat dan membumi di dalam proses belajar mengajar. Dan praktek
pendidikan secara keseluruhan. Bahkan bisa muncul lagi kurikulum baru yang
dikutak-katik oleh pejabat atau Mendiknas yang baru. Kalau demikian adanya,
maka memang Indonesia (Pemerintah) benar-benar tidak memiliki visi dan misi
yang jelas tentang arah dan tujuan pendidikan nasional. Kecenderungannya adalah
akan terbukti, bahwa rencana perubahan kurikulum yang setiap waktu lebih
bersifat mega proyek, ketimbang kepentingan masyarakat, bangsa dan Negara, yang
membutuhkan pelayanan pendidikan secara baik (Sularto, ST, Kompas, 22 Februari
2006).
- Bagaimana Sekolah dan Guru Menyikapi
Guru dan pihak sekolah, sebaiknya berani bersikap mandiri
dan tidak dibingungkan oleh keputusan pemerintah yang berencana mengubah
kurikulum. Sekolah yang memiliki kemampuan untuk mengemas dan merekayasa
kurikulum sendiri diharapkan tetap punya keyakinan untuk tidak didikte oleh
kurikulum nasional, yang dalam penerapannya mungkin saja sangat detail, tanpa
mempertimbangkan aspek muatan lokal, kondisi sosial, budaya masyarakat di
daerah tempat sekolah berada. Dalam konteks ini, sekolah, guru dan murid harus
yakin dengan pendiriannya (Ali, Kompas, 21 Februari 2006).
Yang jelas dan penting bagi guru adalah kesadaran untuk
menerapkan prinsip-prinsip dan idealisme dalam pendidikan. Hal tersebut perlu
untuk membentengi diri jangan timbul kesan bahwa perubahan kurikulum dilakukan,
karena adanya ketidaksiapan guru dalam pelaksanaan kurikulum (Suparno, Kompas
27 Februari 2006). Tidak kalah pentingnya, bahwa pembatalan kurikulum KBK,
mencerminkan kebijakan pemerintah di bidang pendidikan di Indonesia yang selama
ini hanya dilakukan dengan kurikulum coba-coba, tanpa ada pengkajian dan riset
yang mendalam. Anggaran pendidikan kita selama ini hanya habis untuk urusan uji
coba. Dengan demikian, jangankan untuk meningkatkan mutu pendidikan, apalagi
untuk kesejahteraan guru dan dosen, sangat jauh dari harapan kita semua
(Abduhzen, Kompas, 28 Februari 2006).
Jadi, hal yang penting menjadi pertimbangan bagi para
pengambil keputusan di bidang pendidikan, adalah bahwa hendaknya perubahan
kebijakan yang diambil tidak dilakukan secara mendadak, tetapi perlu
perencanaan yang matang, dan sosialisasi merupakan kata kunci yang penting
untuk menjamin siswa, guru dan sekolah tidak menjadi korban perubahan tersebut
(Elin, Kompas, 24 Juli 2006).
- Simpulan dan Saran
- Simpulan
Perjalanan pendidikan dan kurikulumnya sepanjang sejarah
bangsa Indonesia merdeka, menunjukkan praktek pendidikan tidak pernah lepas
dari metode uji coba kebijaksanaan di bidang pendidikan. Begitu mudah berubah.
Kurikulum pendidikan yang seharusnya tidak gampang diubah, sebelum ada
pengkajian dan riset yang mendalam, telah menyebabkan sekor pendidikan di tanah
air belum mampu mengatasi ketertinggalan bangsa ini dalam mengikuti kompetisi
regional dan global.
Dampak berikutnya, banyak kebijakan yang dilakukan sebagai
kebijakan yang bersifat instant dan tidak didasari atas pertimbangan pedagogis
edukatif. Ke depan yang perlu dilakukan bukan mengkutak-katik kurikulum yang
sudah ada, melainkan kita harus memusatkan perhatian yang serius pada
pembenahan infrastruktur persekolahan yang banyak mengalami kerusakan, seperti
gedung-gedung, sekolah yang telah runtuh dimakan usia. Selain itu perhatian
serius juga harus dipusatkan pada peningkatan kesejahteraan tenaga guru dan
dosen, pemberian akses kesempatan belajar yang seluas-luasnya bagi anak-anak
didik sebagai garda terdepan bangsa dalam memajukan pendidikan nasional.
Catatan sejarah tentang pelapukan terhadap praktik
pendidikan dan kurikulumnya, harus segera diperbaiki kembali dengan memfokuskan
perhatian pada isi, visi, misi dan orientasi pendidikan yang berlandaskan pada
pendidikan untuk semua rakyat Indonesia tanpa terkecuali. Saatnyalah pemerintah
menjadikan pilar pendidikan sebagai prioritas utama pembangunan nasional bangsa
ke depan. Saya khawatir sepuluh tahun yang akan dating bangsa kita akan menjadi
bangsa buruh atau kuli di negerinya sendiri. Sekarang saja kita jauh tertinggal
dengan Negara-negara sesama anggota ASEAN lainnya. Kalau tidak segera
pendidikan di tanah air dijadikan prioritas utama pembangunan, sebenarnya secara
kultural, bangsa ini sudah menggali liang lahatnya sendiri. Semoga hal ini
tidak terjadi dan menjadi mimpi buruk bagi bangsa kita.
- Saran
Memperhatikan situasi dan kondisi pengelolaan pendidikan di
Indonesia, sebagaimana yang telah diuraikan di atas, maka ada lima hal yang
perlu dilakukan suatu pergantian kurikulum atau pemberlakuan kurikulum baru,
yaitu : 1) sebelum kurikulum baru ditetapkan, guru di seluruh Indonesia harus
dibantu memahami isi dan hakekat kurikulum yang baru itu. Oleh karena itu,
perlu sosialisasi yang sungguh merata di seluruh Indonesia. Pemerintah tidak
boleh berasumsi atau menganggap bahwa guru akan tahu sendiri, atau mereka akan
belajar sendiri setelah kurikulum ditetapkan, 2) untuk mempercepat sosialisasi,
teks kurikulum yang sudah ditatar dengan kurikulum baru itu diterjunkan ke
seluruh daerah untuk membantu sosialisasi, 3) media komunikasi, surat kabar,
dan jaringan internet dapat digunakan sebagai media sosialisasi kurikulum yang
baru, sehingga dapat terjangkau lebih cepat di seluruh pelosok Indonesia, 4)
guru perlu dibantu agar dapat menyikapi kurikulum apapun secara bijak, sehingga
tidak menjadi bingung. Guru perlu menyadari, bahwa meskipun kurikulum nantinya
tidak lagi menggunakan KBK, namun mereka telah terbantu dalam proses kegiatan
belajar mengajar KBK. Guru perlu dibantu bersikap cerdas untuk mengambil hal
yang sungguh baik dan berguna dari kurikulum KBK ataupun kurikulum lama,
meskipun kurikulum baru ditetapkan, 5) sangat penting bagi guru untuk
mengembangkan sikap terbuka dan kemandirian dan percaya diri. Sebab
bagaimanapun juga, guru masih tetap menjadi pilar utama dan ujung tombak dalam
proses pencerdasan kehidupan bangsa tanpa harus terbelenggu dan terkungkung
oleh perubahan kurikulum pendidikan yang diberlakukan.