Perbandingan Kurikulum Pendidikan di Indonesia dalam Tinjauan Historis dan Ideologis

0 komentar
Pendahuluan
Perjalanan sejarah bangsa telah mencatat bahwa perubahan pergantian kurikulum pendidikan yang semestinya mengantarkan bangsa dan rakyat Indonesia untuk eksis dalam percaturan global ternyata justru terbalik dengan kenyataan yang ada. Negeri ini malah kian terpuruk dan tertinggal dengan bangsa-bangsa lain.
Oleh karena itu, dengan membuka lembaran sejarah kurikulum di Indonesia, diharapkan pemerintah dan segenap komponen bangsa yang terkait langsung menangani pendidikan di Indonesia untuk mencari formulasi yang ideal dalam mengembangkan kurikulum yang bernuansa global, kuat dalam visi dan tidak menghilangkan nuansa kepribadian bangsa Indonesia.
Menilik benang merah sejarah Indonesia merdeka, haruslah diakui bahwa politik “etis” kolonial Belanda sekitar tahun 1900-an yang bersifat setengah hati, karena tuntutan abad pencerahan di Eropa, telah memberikan semangat nasionalisme dan intelektualisme. Pendidikan diyakini sebagai jembatan emas menuju pencerahan dan kemerdekaan bangsa. Tokoh-tokoh seperti Wahidin Sudirohusodo, Soewardi Suryaningrat atau yang dikenal sebagai Ki Hajar Dewantoro, Soekarno dan Muhammad Hatta adalah contohnya.
Jika kemudian, setelah 60 tahun lebih Indonesia merdeka, tunas-tunas bangsa tidak semuanya dapat mengenyam pendidikan yang layak bagi kemanusiaan, inilah persoalan bangsa yang seharusnya menjadi perhatian serius pemerintah dan semua pihak.
Sementara itu, bagaimana peran kurikulum dalam proses pendidikan ? Hal ini tentu saja merupakan faktor yang sangat penting untuk diperhatikan, sebab kurikulum adalah jantungnya pendidikan. Oleh sebab itu, dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana telah diamanatkan UUD 1945, adalah menjadi tugas utama pendidikan yang digariskan dalam kurikulumnya.
Undang-undang No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional menjelaskan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dari pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar (Pasal 1). Demikian pula bahwa untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional kurikulum disusun, dengan memperhatikan tahap perkembangan peserta didik dan kesesuaiannya dengan lingkungan, kebutuhan pembangunan nasional. Perkembangan IPTEK, serta kesenian sesuai dengan jenis dan jenjang masing-masing satuan pendidikan (Pasal 37).
Mencermati pasal 1 dan 37 Undang-undang tersebut dalam perkembangan masyarakat global, khususnya yang menyangkut IPTEK, seharusnya Indonesia menjadi bagian dari kompetisi itu. Untuk itu, segala perkembangan masyarakat dunia perlu menjadi masukan sebagai bahan kajian serta diterapkan dalam pola-pola kehidupan masyarakat Indonesia. Fenomena tersebut akan menjadi bahan acuan dalam upaya pengembangan kehidupan masyarakat di segala bidang, khususnya dalam penyusunan kurikulum pendidikan. Dengan demikian peran dan fungsi kurikulum bagi proses pendidikan adalah sebagai acuan pokok di dalam pelaksanaan proses pendidikan. Dengan demikian, maka seharusnya kurikulum tidak mengatur secara detail mengenai bagaimana proses atau teknisnya, tetapi persoalan ini diberikan kepada sekolah untuk pengelolaannya dengan manajemen berbasis sekolah (MBS), alasannya adalah tidak semua sekolah di Indonesia memiliki karakteristik yang sama. Oleh karena itu muatan lokal kurikulum diberikan kepada sekolah atau daerah.
Hal itu sesuai dengan pasal 38 ayat 3 UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003, bahwa kurikulum Dikdasmen dikembangkan sesuai dengan relevansi setiap kelompok atau satuan pendidikan dan komite sekolah atau madrasah (Nyoman S, 2000)
Implementasi kurikulum pendidikan pada tingkat pembelajaran di sekolah merupakan tanggung jawab guru dan sekolah dalam bentuk kegiatan belajar mengajar, baik besaran atau banyaknya jam pelajaran, maupun evaluasinya sebagai bagian terpadu dari strategi belajar mengajar yang direncanakan dengan baik (S. Prasetyo Utomo, 2006).
Permasalahan
Mencermati uraian di atas, ada tiga permasalahan yang akan dikupas dalam makalah ini, yaitu :
    1. Bagaimana kurikulum pendidikan menjadi bagian dari kepentingan birokratis politis ?
    2. Bagaimana perbandingan kurikulum di Indonesia ditinjau dari sejarah pelaksanaannya ?
    3. Bagaimana sebaiknya guru dan sekolah menyikapi perubahan kurikulum pendidikan ?
Pembahasan
    1. Pendidikan dan Kepentingan Birokratis Politis
Sejak kurikulum pendidikan pertama diberlakukan (kurikulum 1947) hingga sekarang, tampaknya ada degenerasi dalam hal tujuan pendidikan. Bahkan elitisme dan komersialisasi pendidikan semakin mereduksi makna pendidikan dan mengancam nilai-nilai moral dan idealisme pendidikan itu sendiri.
Catatan Shindunata dalam sampul majalah Basis menggaris bawahi, “Bahwa pendidikan hanya menghasilkan air mata”. Ilustrasinya berupa air mata meleleh dari kelopak mata seorang ayah yang tertusuk pulpen
Banyak ahli dan pemerhati pendidikan sangat prihatin. Bahkan ada yang menarik tali sejarah lebih panjang lagi ke zaman Jepang sejak masuknya tahun 1942 sebagai masa yang dilansir oleh Selamet Imam Santoso (1995). Praktik pendidikan di Indonesia sudah mengalami keterpurukan sejak zaman Jepang dan bersambung sampai zaman kemerdekaan. Ada mitologi yang berkembang, bahwa baik tidaknya pendidikan nasional, senantiasa hanya dilihat sebagai solusi keterpurukan bangsa (Sularto, ST, 2005).
Empat bulan setelah Indonesia merdeka, dunia pendidikan nasional mulai dibenahi. Pada tahun 1947 terbentuklah “Sistem Persekolahan” sesuai dengan UUD 1945, termasuk Sekolah Rakyat (SR) enam tahun. Sistem itu sempat dipraktikkan dan dikembangkan, barulah tahun 1960 tersusun undang-undang yang menjadi paying hukum kegiatan pendidikan.
Sesuai dengan keputusan MPRS No. II/MPRS/1960 tentang Manusia Sosialis Indonesia, disusunlah rumusan Induk Sistem Pendidikan Nasional berdasarkan Keppres No. 14 Tahun 1965. Kemudian keluar dari Keppres No. 19 Tahun 1965 tentang pokok-pokok Sistem Pendidikan Nasional Pancasila. Jiwa dan Visi kurikulum adalah gotong royong dan demokrasi terpimpin.
Orde lama runtuh, keluar Ketetapan MPRS No. XXVII / MPRS /1966 yang berisi tentang tujuan pendidikan nasional “membentuk manusia Pancasila sejati berdasarkan ketentuan seperti yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945”. Lalu kurikulum 1968 lahir sebagai sebuah pedoman praktik pendidikan yang tersusun untuk pertama kalinya.
Menurut kurikulum ini, tujuan pendidikan nasional adalah : mempertinggi mental, moral, budi pekerti dan memperkuat keyakinan beragama, mempertinggi kecerdasan dan keterampilan, serta membina dan mengembangkan fisik yang kuat dan sehat.
    1. Gambaran dan Ciri-ciri Kurikulum Pendidikan di Indonesia dalam Perkembangan Sejarah
Berikut ini sekilas diuraikan tentang gambaran dan ciri-ciri kurikulum pendidikan di Indonesia sebagaimana dikemukakan oleh Azwar Abdullah (2007, 243-250).
      1. Kurikulum 1947
Kurikulum yang pertama kali diberlakukan di sekolah Indonesia pada awal kemerdekaan ialah kurikulum 1947 yang dimaksudkan untuk melayani kepentingan bangsa Indonesia. Penerbitan UU No. 4 tahun 1950 merumuskan pula tujuan kurikulum menurut jenjang pendidikan. Sekolah mengharuskan menyempurnakan kurikulum 1947 agar lebih disesuaikan dengan kebutuhan dan kepentingan bangsa Indonesia. Berikut ini ciri-ciri Kurikulum 1947 : a) sifat kurikulum Separated Subject Curriculum (1946-1947), b) menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar di sekolah, c) jumlah mata pelajaran : Sekolah Rakyat (SR) – 16 bidang studi, SMP-17 bidang studi dan SMA jurusan B-19 bidang studi, dan d) materi pendidikan dan pengajaran : Mr. Soewandi.
      1. Kurikulum 1968
Kurikulum 1968 ditandai dengan pendekatan peng-organisasian materi pelajaran dengan pengelompokan suatu pelajaran yang berbeda, yang dilakukan secara korelasional (correlated subject curriculum), yaitu mata pelajaran yang satu dikorelasikan dengan mata pelajaran yang lain, walaupun batas demarkasi antar mata pelajaran masih terlihat jelas. Muatan materi masing-masing mata pelajaran masih bersifat teoritis dan belum terikat erat dengan keadaan nyata dalam lingkungan sekitar. Pengorganisasian mata pelajaran secara korelasional itu berangsur-angsur mengarah kepada pendekatan pelajaran yang sudah terpisah-pisah berdasarkan disiplin ilmu pada sekolah-sekolah yang lebih tinggi. Berikut ciri-ciri kurikulum 1968 : a) sifat kurikulum correlated subject, b) jumlah mata pelajaran SD-10 bidang studi, SMP-18 bidang studi (Bahasa Indonesia dibedakan atas Bahasa Indonesia I dan II), SMA jurusan A-18 bidang studi, c) penjurusan di SMA dilakukan di kelas II, dan disederhanakan menjadi dua jurusan, yaitu Sastra Sosial Budaya dan Ilmu Pasti Pengetahuan Alam (PASPAL), dan d) Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mashuri, SH (1968 – 1973).
      1. Kurikulum 1975
Di dalam kurikulum 1975, pada setiap bidang studi dicantumkan tujuan kurikulum, sedangkan pada setiap pokok bahasan diberikan tujuan instruksional umum yang dijabarkan lebih lanjut dalam berbagai satuan bahasan yang memiliki tujuan instruksional khusus. Dalam proses pembelajaran, guru harus berusaha agar tujuan instruksional khusus dapat dicapai oleh peserta didik, setelah mata pelajaran atau pokok bahasan tertentu disajikan oleh guru. Metode penyampaian satun bahasa ini disebut prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI). Melalui PPSI ini dibuat satuan pelajaran yang berupa rencana pelajaran setiap satuan bahasan. Berikut ini ciri-ciri kurikulum 1975 : a) sifat kurikulum Integrated Curriculum Organization, b) jumlah mata pelajaran berdasarkan tingkatan SD mempunyai struktur program, yang terdiri atas 9 bidang studi termasuk mata pelajaran PSPB, pelajaran ilmu alam dan ilmu hayat digabung menjadi satu dengan nama Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), Pelajaran Ilmu Aljabar dan Ilmu Ukur digabung menjadi satu dengan nama Matematika. JUmlah mata pelajaran di SMP dan SMA menjadi 11 bidang studi, c) penjurusan di SMA dibagi atas 3 yaitu : jurusan IPA, IPS dan Bahasa, penjurusan dimulai di kelas I, pada permulaan semester II, dan d) Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Dr. Syarif Thayeb (1973-1978).
      1. Kurikulum 1984
Kurikulum 1984 pada hakikatnya merupakan penyempurnaan dari kurikulum 1975. Asumsi yang mendasari penyempurnaan kurikulum 1975 ini adalah bahwa kurikulum merupakan wadah atau tempat proses belajar mengajar berlangsung yang secara dinamis, perlu senantiasa dinilai dan dikembangkan secara terus menerus sesuai dengan kondisi dan perkembangan masyarakat. Berikut ciri-ciri kurikulum 1984 : a) sifat kurikulum content based curriculum, b) program mata pelajaran mencakup 11 bidang studi, c) jumlah mata pelajaran di SMP 11 bidang studi, d) jumlah mata pelajaran di SMA-15 bidang studi untuk program inti dan 4 bidang studi untuk program pilihan, e) penjurusan di SMA dibagi atas 5 (lima) jurusan, yaitu : program A1 (ilmu fisika), program A2 (ilmu biologi), program A3 (ilmu sosial), program A4 (ilmu budaya), program A5 (ilmu agama), f) Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Prof. Dr. Nugroho Notosusanto (1983-1985).
      1. Kurikulum 1994
Dengan mendasarkan kepada seluruh proses penyusunan kurikulum pada ketentuan-ketentuan yuridis dan akademis di atas, maka diharapkan kurikulum 1994 telah mampu menjembatani semua kesenjangan yang terdapat dalam dunia pendidikan di sekolah. Namun, harapan itu sepertinya tidak terwujud sebagaimana diperlihatkan oleh sedemikian banyak dan gencarnya keluhan pengelola pendidikan mengenai berbagai kelemahan dan kekurangan kurikulum 1994. Adapun ciri-ciri kurikulum 1994 adalah sebagai berikut : a) sifat kurikulum objective based curriculum, b) nama SMP dan SLTP kejuruan diganti menjadi SLTP (Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama), c) mata pelajaran PSBP dan keterampilan ditiadakan, program pengajaran SD dan SLTP disusun dalam 13 mata pelajaran, nama SMA diganti SMU (Sekolah Menengah Umum), d) program pengajaran di SMU disusun dalam 10 mata pelajaran, e) penjurusan di SMU dilakukan di kelas II, f) penjurusan dibagi atas tiga jurusan, yaitu jurusan IPA, IPS, dan Bahasa, g) SMK memperkenalkan program pendidikan sistem ganda (PSG) dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan adalah Prof. Dr. Ing. Wadiman Djoyonegoro (1993-1998).
Aspek yang dikedepankan dalam kurikulum 1994 ialah terlalu padat, sehingga sangat membebani siswa yang berpengaruh pada merosotnya semangat belajar siswa, sehingga mutu pendidikan pun semakin terpuruk. Akibatnya adalah siswa enggan belajar lama di sekolah. Jika sejak awal siswa dicemaskan dengan mata pelajaran yang menjadi momok di sekolah, maka mereka akan menjadi bosan dan kegiatan belajar mengajar menjadi menyebalkan.
Selain itu, penetapan target kurikulum 1994 dinilai dan dikecam berbagai pihak antara lain sebagai dosa teramat besar dari departemen pendidikan dan kebudayaan yang mengakibatkan kemerosotan kualitas pendidikan secara berkesinambungan tanpa henti (Darmawan, Suara Pembaharuan, 2002) bahwa adanya target kurikulum telah menjadi salah satu factor pemicu untuk penggantian kurikulum baru. Kurikulum 1994 yang padat dengan beban yang telah menghambat diberlakukannya paradigma baru pendidikan dari siswa kepada guru, yang menuntut banyak waktu untuk menyampaikan pandangan dalam rangka pengelolaan pendidikan. Kurikulum yang padat juga melanggengkan konsep pengajaran satu arah, dari guru murid, karena apabila murid diberikan kebebasan mengajukan pendapat, maka diperlukan banyak waktu, sehingga target kurikulum sulit untuk tercapai.
Kesan umum dari kurikulum 1994 pada tingkat SMU, adalah jenjang sekolah ini memberikan tekanan kuat, pada upaya mengarahkan siswa untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Praktis tidak ada ruang yang secara langsung dimaksudkan untuk menyiapkan siswa memasuki dunia kerja, antara lain tampak dari tiadanya jam muatan lokal, dan dihapuskannya mata pelajaran keterampilan. Hal ini tampaknya berlandaskan pada isyarat pasal 3 ayat (1) PP No. 29 / 1990. yang menyatakan, “Pendidikan menengah umum mengutamakan persiapan siswa untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi.”
Memang, secara ideal itu sah-sah saja. Tapi dalam kenyataannya, tidak semua lulusan SMU setiap tahun yang mengikuti UMPTN dapat diterima, hanya sekitar 10 % saja yang lolos. Sebagian, lulusan SMU memang ditampung oleh Perguruan Tinggi Swasta (PTS), tapi itu hanya ada separuhnya. Selebihnya mengambil kursus atau terjun langsung ke masyarakat dan mencari kerja. Padahal mereka tidak disiapkan untuk itu, kecuali dengan bekal yang diperolehnya dari materi program pengajaran umum dan khusus. Jadi, mereka dihadapkan pada situasi antara berenang dan tenggelam (Dedi Supriadi, 1997).
                                                      1.            Kurikulum 2004
Harapan masyarakat terhadap kurikulum pendidikan di Indonesia, pada hakikatnya adalah adanya komunikasi dua arah yang memungkinkan kegiatan belajar mengajar menjadi interaktif dan menyenangkan, baik bagi siswa maupun bagi guru. Belajar menyenangkan itulah sebenarnya konsep pendidikan yang dapat membawa peserta didik (siswa) untuk menguasai kompetensi akademik, kompetensi sosial, dan kompetensi kepribadian. Harapan-harapan inilah yang seharusnya diakomodasi di dalam penyusunan kurikulum.
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang hanya berlaku sampai tahun 2006 di sekolah-sekolah pada dasarnya adalah merupakan gagasan dari Kurikulum Berbasis Kemampuan Dasar (KBKD) yang pernah diperkenalkan oleh Boediono dan Ella (1999), yang memfokuskan pada wujud pertumbuhan dan perkembangan potensi peserta didik. KBK merupakan perangkat rencana dan pengaturan tentang kompetensi dan hasil belajar yang harus dicapai oleh siswa, penilaian, kegiatan belajar mengajar, dan pemberdayaan sumber daya pendidikan dalam pengembangan kurikulum sekolah. Berikut ini ciri-ciri kurikulum 2004 (KBK) : a) sifat kurikulum Competency Based Curriculum, b) penyebutan SLTP menjadi SMP, c) penyebutan SMU menjadi SMA, d) program pengajaran di SD disusun dalam 7 mata pelajaran, e) program pengajaran di SMP disusun dalam 11 mata pelajaran, f) program pengajaran di SMA disusun dalam 17 mata pelajaran, g) penjurusan di SMA dilakukan di kelas II, h) penjurusan dibagi atas 3 jurusan, yaitu : Ilmu Alam, Ilmu Sosial, dan Bahasa, dan i) Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Prof. H. Abdul Malik Fajar (2001-2004).
Berhubung kurikulum 2004 yang memfokuskan aspek kompetensi siswa, maka prinsip pembelajaran adalah berpusat pada siswa dan menggunakan pendekatan menyeluruh dan kemitraan, serta mengutamakan proses pembelajaran dengan pendekatan kontekstual (contextual teaching and learning atau CTL)
Dalam pelaksanaan kurikulum yang memegang peranan penting adalah guru. Guru diibaratkan manusia dibalik senjata kosong yang tidak berpeluru. Oleh karena itu, diperlukan kreativitas guru untuk mengisi senjata itu dan membidiknya dengan cermat dan tepat mengenai sasaran. Keberhasilan kurikulum lebih banyak ditentukan oleh kualitas dan kompetensi guru. Oleh karenanya, tidak berlebihan apabila dalam diskusi mengenai “Potret Pendidikan di Indonesia dan Peran Guru Swasta”, J. Drost (2002) menegaskan bahwa materi kurikulum, terutama untuk mata pelajaran dasar, di seluruh dunia pada dasarnya sama. Yang membedakannya adalah cara guru mengajar di depan kelas.
Inti dari KBK atau kurikulum 2004 adalah terletak pada empat aspek utama, yaitu : 1) kurikulum dan hasil belajar, 2) pengelolaan kurikulum berbasis sekolah, 3) kegiatan belajar mengajar, dan 4) evaluasi dengan penilaian berbasis kelas.
Kurikulum dan hasil belajar memuat perencanaan pengembangan kompetensi peserta didik yang perlu dicapai secara keseluruhan sejak lahir sampai usia 18 tahun. Kurikulum dan hasil belajar ini memuat kompetensi, hasil belajar dan indikator dari TK (Taman Kanak-kanak) dan Raudhatul Athfal (RA) sampai dengan kelas XII (kelas III SMA). Penilaian berbasis kelas memuat prinsip, sasaran dan pelaksanaan penilaian berkelanjutan yang lebih akurat dan konsisten sebagai akuntabilitas publik melalui identifikasi kompetensi atau hasil belajar yang telah dicapai, pernyataan yang jelas tentang standar yang harus dan telah dicapai, serta peta kemajuan belajar siswa dan pelaporan. Kegiatan belajar mengajar memuat gagasan pokok tentang pembelajaran dan pengajaran untuk mencapai kompetensi yang ditetapkan, serta gagasan-gagasan pedagogis dan andragogis yang mengelola pembelajaran agar tidak mekanistik. Pengelolaan kurikulum berbasis sekolah memuat berbagai pola pemberdayaan tenaga kependidikan dan sumber daya lain untuk meningkatkan mutu hasil belajar. Pola ini dilengkapi pula dengan gagasan pembentukan jaringan kurikulum (curriculum council), pengembangan perangkat kurikulum, antara lain silabus, pembinaan professional tenaga kependidikan, dan pengembangan sistem informasi kurikulum.
Peran dan tanggung jawab dalam pengelolaan kurikulum berbasis sekolah diberikan kepada sekolah. Dinas Pendidikan Kabupaten / Kota, Dinas Pendidikan Provinsi dan Tingkat Pusat. Peran dan tanggung jawab sekolah untuk meningkatkan komunikasi dengan berbagai pihak untuk mensosialisasikan konsep KBK, menetapkan tahap dan administrasi KBK, menata ulang KBK penempatan guru pada kelas secara optimal, memberdayakan semua sumber daya dan dana sekolah, termasuk dalam melibatkan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah untuk pelaksanaan kurikulum secara bermutu (Puskur, Balitbang Depdikbud, 2002)
KBK dikembangkan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. menekankan pada pencapaian kompetensi siswa
2. kurikulum dapat diperluas, diperdalam dan disesuaikan dengan potensi siswa.
3. berpusat pada siswa.
4. berorientasi pada proses dan hasil.
5. pendekatan dan metode yang digunakan beragam dan bersifat kontekstual
6. guru bukan satu-satunya sumber ilmu pengetahuan (siswa dapat belajar dari apa saja)
7. buku pelajaran bukan satu-satunya sumber belajar.
8. belajar sepanjang hayat dengan bertumpu pada empat pilar pendidikan kesejagatan:
– belajar mengetahui (learning how to know)
– belajar melakukan (learning how to do)
– belajar menjadi diri sendiri (learning how to be)
– belajar hidup dalam keberagaman (learning how to live together)
      1. Kurikulum 2006 (KTSP)
Kurikulum 2006 atau yang dikenal dengan nama Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) merupakan kurikulum operasional pendidikan yang disusun dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan yang berlaku dewasa ini di Indonesia. KTSP diberlakukan mulai tahun ajaran 2006/2007 yang menggantikan kurikulum 2004 (KBK). Kurikulum ini lahir seiring dengan pemberlakuan Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem pendidikan Nasional serta Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Salah satu perbedaan KTSP dibandingkan dengan kurikulum yang pernah berlaku sebelumnya di Indonesia adalah terletak pada sistem pengembangannya. Pengembangan kurikulum sebelum KTSP dilakukan secara terpusat (sentralistik), sedangkan KTSP merupakan kurikulum operasional yang dikembangkan oleh satuan pendidikan dengan memperhatikan karakteristik dan perbedaan daerah (desentralistik).
KTSP terdiri dari tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan, struktur dan muatan kurikulum, kalender pendidikan, dan silabus. Secara substantive, pemberlakuan kurikulum 2006 merupakan implementasi regulasi yang telah dikeluarkan yaitu PP no 19 tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan. Akan tetapi, esensi isi dan arah pengembangan pembelajaran tetap masih bercirikan tercapainya paket-paket kompetensi (Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar) dan bukan pada tuntas tidaknya sebuah subject matter.
Dengan demikian, kurikulum 2006 memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
  1. Menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa, baik secara individual, maupun klasikal.
  2. Berorientasi pada hasil belajar (learning out comes) dan keberagaman.
  3. Penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi.
  4. Sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsure edukatif.
  5. Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi.
Sebagai kurikulum operasional di tingkat satuan pendidikan, KTSP memiliki peluang untuk dikembangkan oleh satuan pendidikan dengan berpedoman pada prinsip-prinsip:
  1. Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya.
  2. Beragam dan terpadu.
  3. Tanggap terhadap perkembangan Iptek .
  4. Relevan dengan kebutuhan masa kini dan masa datang.
  5. Menyeluruh dan berkesinambungan
  6. Belajar sepanjang hayat
  7. Seimbang antara kepentingan nasional dan daerah.
Pada hakikatnya KTSP merupakan kelanjutan dari kurikulum 2004. Sebab tidak banyak perubahan berarti yang dilakukan. Yang tampak jelas berubah adalah penentuan mata pelajaran masing-masing bidang studi dengan penjabaran aspek-aspeknya. Persoalan baru itulah yang dirasakan oleh guru menjadi beban berat. Belum lagi soal kerepotan dan kerumitan nilai dalam proses evaluasi belajarnya.
Dengan dasar Permendiknas Nomor 22, 23 dan 24 tentang Standar Isi (SI) dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) serta peraturan pelaksanaannya, maka kurikulum 2006 diberlakukan untuk menyempurnakan kurikulum sebelumnya yang baru berusia dua tahun.
Dalam pelaksanaannya kurikulum terbaru tersebut mengalami berbagai kendala. Terutama persoalan minimnya sosialisasi dan kesiapan sarana dan prasarana pendukung pendidikan dan terutama sekali kesiapan guru dan sekolah untuk menyusun dan mengembangkan kurikulum sendiri. Namun oleh Depdiknas persoalan itu diantisipasi dengan diluncurkannya panduan KTSP yang disusun oleh BSNP. Kenyataannya sampai saat ini kurikulum 2006 itu terkesan masih dijalankan dengan setengah hati karena berbagai kebijakan dan landasan yuridisnya belum dipenuhi secara konsekuen oleh pemerintah.
Perbedaan mendasar yang terdapat dalam kurikulum 2006 dibandingkan kurikulum sebelumnya adalah kurikulum 2006 bersifat desentralistik artinya sekolah diberi kewenangan secara penuh untuk menyusun rencana pendidikan dengan mengacu pada standar yang telah ditetapkan (SI dan SKL) mulai dari tujuan, visi dan misi, struktur dan muatan kurikulum, beban belajar, kalender pendidikan, hingga pengembangan silabusnya. Namun, kewenangan dan kebebasan sekolah tersebut dalam penyelenggaraan program pendidikannya tetap harus disesuaikan dengan (1) Kondisi lingkungan sekolah, (2) kemampuan peserta didik, (3) sumber belajar yang tersedia, dan (4) kekhasan daerah. Dalam pelaksanaannya, orang tua dan masyarakat dapat berperan dan terlibat secara aktif sebagai mitra sekolah dalam mengembangkan program pendidikannya.

    1. Bongkar Pasang Kurikulum
Dikembangkannya berbagai uji coba kurikulum, mulai dari apresiasi atas peran swasta, seperti penggunaan system modul atau sekolah pembangunan yang berorientasi pada kerja, sampai pada uji coba sistem cara belajar siswa aktif (CBSA), tampaknya tidak menyurutkan hasrat pemerintah untuk selalu melakukan berbagai upaya penggantian dan uji coba kurikulum.
Kesempatan memberikan apresiasi pada peran swasta pada awalnya tampak bagus, namun pada akhirnya setelah melihat kondisi liberatif, pemerintah kemudian mengambil alih kendali seluruh praktik pendidikan. Pendidikan yang tadinya liberatif desentralistis, ditarik kembali ke semangat deliberatif dan sentralistis. Pihak swasta tidak lagi dipandang sebagai partner, tetapi sebagai pesaing. Kini otonomi daerah diberlakukan seiring dengan reformasi pemerintahan. Namun lagi-lagi, masalah pendidikan yang diotonomikan di daerah di seluruh Indonesia, tidak lebih baik dari sebelumnya.Timbul banyak masalah, mulai dari penyalahgunaan Dana Bantuan Operasional (BOS) sekolah, sampai pada pengangkatan Guru Bantu dan Tenaga Honorer yang carut marut (Susanto dan Rejeki, Kompas, 11 Juli 2005).
Ketika kurikulum 1968 dicabut dan digantikan dengan kurikulum 1975, tidak membuat praktek pendidikan di tanah air semakin membaik. Bahkan ketika sekolah belum semua menggunakan kurikulum 1975, mulai dirasakan, bahwa kurikulum ini sudah tidak bisa mengejar kemajuan pesat masyarakat. Kemudian lahirlah kurikulum 1984. Sebagai tindak lanjutnya maka pemerintah menerbitkan UU No. 2 Tahun 1989. Undang-undang yang dihasilkan secara terencana lewat sebuah panitia penilai pun tidak lepas dari kritik. Kurikulum 1984 kemudian dianggap sangat sarat dengan beban, lantas muncul lagi kurikulum baru 1994 yang lebih sederhana. Lagi-lagi kepentingan politik praktis lebih menonjol ketimbang berpijak dan berpihak pada kepentingan guru dan anak didik.
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 2 tahun 1989 pun dibanti, dan setelah lewat proses yang panjang dan menuai banyak kritik, baru terealisasi pada tahun 2003. Bersamaan dengan lahirnya Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional yang baru, maka hadir pula kurikulum baru 2004 atau kurikulum berbasis kompetensi (KBK), yang isinya memuat sejumlah kompetensi yang harus dikuasai oleh setiap lulusan (Permanasari, Kompas, 30 Desember 2005).
Dalam praktek di lapangan, jangankan KBK, di banyak daerah pedalaman Indonesia, masih ada sekolah yang belum sempat mempraktekkan kurikulum 1994, seperti yang diungkapkan oleh dua orang guru dari pedalaman Tapanuli Selatan Sumatera Utara, masing-masing Ridwan Dalimunthe dan Raja Dima Siregar (Sularto, ST, Kompas, 16 Agustus 2005)
Meskipun selalu dibungkus dengan istilah penyempurnaan pergantian kurikulum, tetap tidak terhindarkan dari kegiatan perombakan kebijakan. Kita menghargai adanye pembenahan kurikulum yang belum sempat tersosialisasi dengan baik, namun perlu mendapatkan pengkajian dan riset terlebih dahulu dari berbagai aspek, termasuk memperhitungkan kelengkapan sarana persekolahan, dan kesiapan guru dan murid. Pertimbangannya adalah apabila penggantian kurikulum tidak dibarengi dengan pembenahan infrastruktur dan standar pelayanan yang baik, ujung-ujungnya adalah kurikulum baru akan tetap tidak merakyat dan membumi di dalam proses belajar mengajar. Dan praktek pendidikan secara keseluruhan. Bahkan bisa muncul lagi kurikulum baru yang dikutak-katik oleh pejabat atau Mendiknas yang baru. Kalau demikian adanya, maka memang Indonesia (Pemerintah) benar-benar tidak memiliki visi dan misi yang jelas tentang arah dan tujuan pendidikan nasional. Kecenderungannya adalah akan terbukti, bahwa rencana perubahan kurikulum yang setiap waktu lebih bersifat mega proyek, ketimbang kepentingan masyarakat, bangsa dan Negara, yang membutuhkan pelayanan pendidikan secara baik (Sularto, ST, Kompas, 22 Februari 2006).
  1. Bagaimana Sekolah dan Guru Menyikapi
Guru dan pihak sekolah, sebaiknya berani bersikap mandiri dan tidak dibingungkan oleh keputusan pemerintah yang berencana mengubah kurikulum. Sekolah yang memiliki kemampuan untuk mengemas dan merekayasa kurikulum sendiri diharapkan tetap punya keyakinan untuk tidak didikte oleh kurikulum nasional, yang dalam penerapannya mungkin saja sangat detail, tanpa mempertimbangkan aspek muatan lokal, kondisi sosial, budaya masyarakat di daerah tempat sekolah berada. Dalam konteks ini, sekolah, guru dan murid harus yakin dengan pendiriannya (Ali, Kompas, 21 Februari 2006).
Yang jelas dan penting bagi guru adalah kesadaran untuk menerapkan prinsip-prinsip dan idealisme dalam pendidikan. Hal tersebut perlu untuk membentengi diri jangan timbul kesan bahwa perubahan kurikulum dilakukan, karena adanya ketidaksiapan guru dalam pelaksanaan kurikulum (Suparno, Kompas 27 Februari 2006). Tidak kalah pentingnya, bahwa pembatalan kurikulum KBK, mencerminkan kebijakan pemerintah di bidang pendidikan di Indonesia yang selama ini hanya dilakukan dengan kurikulum coba-coba, tanpa ada pengkajian dan riset yang mendalam. Anggaran pendidikan kita selama ini hanya habis untuk urusan uji coba. Dengan demikian, jangankan untuk meningkatkan mutu pendidikan, apalagi untuk kesejahteraan guru dan dosen, sangat jauh dari harapan kita semua (Abduhzen, Kompas, 28 Februari 2006).
Jadi, hal yang penting menjadi pertimbangan bagi para pengambil keputusan di bidang pendidikan, adalah bahwa hendaknya perubahan kebijakan yang diambil tidak dilakukan secara mendadak, tetapi perlu perencanaan yang matang, dan sosialisasi merupakan kata kunci yang penting untuk menjamin siswa, guru dan sekolah tidak menjadi korban perubahan tersebut (Elin, Kompas, 24 Juli 2006).
  1. Simpulan dan Saran
      1. Simpulan
Perjalanan pendidikan dan kurikulumnya sepanjang sejarah bangsa Indonesia merdeka, menunjukkan praktek pendidikan tidak pernah lepas dari metode uji coba kebijaksanaan di bidang pendidikan. Begitu mudah berubah. Kurikulum pendidikan yang seharusnya tidak gampang diubah, sebelum ada pengkajian dan riset yang mendalam, telah menyebabkan sekor pendidikan di tanah air belum mampu mengatasi ketertinggalan bangsa ini dalam mengikuti kompetisi regional dan global.
Dampak berikutnya, banyak kebijakan yang dilakukan sebagai kebijakan yang bersifat instant dan tidak didasari atas pertimbangan pedagogis edukatif. Ke depan yang perlu dilakukan bukan mengkutak-katik kurikulum yang sudah ada, melainkan kita harus memusatkan perhatian yang serius pada pembenahan infrastruktur persekolahan yang banyak mengalami kerusakan, seperti gedung-gedung, sekolah yang telah runtuh dimakan usia. Selain itu perhatian serius juga harus dipusatkan pada peningkatan kesejahteraan tenaga guru dan dosen, pemberian akses kesempatan belajar yang seluas-luasnya bagi anak-anak didik sebagai garda terdepan bangsa dalam memajukan pendidikan nasional.
Catatan sejarah tentang pelapukan terhadap praktik pendidikan dan kurikulumnya, harus segera diperbaiki kembali dengan memfokuskan perhatian pada isi, visi, misi dan orientasi pendidikan yang berlandaskan pada pendidikan untuk semua rakyat Indonesia tanpa terkecuali. Saatnyalah pemerintah menjadikan pilar pendidikan sebagai prioritas utama pembangunan nasional bangsa ke depan. Saya khawatir sepuluh tahun yang akan dating bangsa kita akan menjadi bangsa buruh atau kuli di negerinya sendiri. Sekarang saja kita jauh tertinggal dengan Negara-negara sesama anggota ASEAN lainnya. Kalau tidak segera pendidikan di tanah air dijadikan prioritas utama pembangunan, sebenarnya secara kultural, bangsa ini sudah menggali liang lahatnya sendiri. Semoga hal ini tidak terjadi dan menjadi mimpi buruk bagi bangsa kita.

      1. Saran
Memperhatikan situasi dan kondisi pengelolaan pendidikan di Indonesia, sebagaimana yang telah diuraikan di atas, maka ada lima hal yang perlu dilakukan suatu pergantian kurikulum atau pemberlakuan kurikulum baru, yaitu : 1) sebelum kurikulum baru ditetapkan, guru di seluruh Indonesia harus dibantu memahami isi dan hakekat kurikulum yang baru itu. Oleh karena itu, perlu sosialisasi yang sungguh merata di seluruh Indonesia. Pemerintah tidak boleh berasumsi atau menganggap bahwa guru akan tahu sendiri, atau mereka akan belajar sendiri setelah kurikulum ditetapkan, 2) untuk mempercepat sosialisasi, teks kurikulum yang sudah ditatar dengan kurikulum baru itu diterjunkan ke seluruh daerah untuk membantu sosialisasi, 3) media komunikasi, surat kabar, dan jaringan internet dapat digunakan sebagai media sosialisasi kurikulum yang baru, sehingga dapat terjangkau lebih cepat di seluruh pelosok Indonesia, 4) guru perlu dibantu agar dapat menyikapi kurikulum apapun secara bijak, sehingga tidak menjadi bingung. Guru perlu menyadari, bahwa meskipun kurikulum nantinya tidak lagi menggunakan KBK, namun mereka telah terbantu dalam proses kegiatan belajar mengajar KBK. Guru perlu dibantu bersikap cerdas untuk mengambil hal yang sungguh baik dan berguna dari kurikulum KBK ataupun kurikulum lama, meskipun kurikulum baru ditetapkan, 5) sangat penting bagi guru untuk mengembangkan sikap terbuka dan kemandirian dan percaya diri. Sebab bagaimanapun juga, guru masih tetap menjadi pilar utama dan ujung tombak dalam proses pencerdasan kehidupan bangsa tanpa harus terbelenggu dan terkungkung oleh perubahan kurikulum pendidikan yang diberlakukan.

hubungan buku teks dengan komponen pembelajaran

0 komentar
Mengapa buku teks dihubungkan dengan komponen pembelajaran? Ya, karena buku teks merupakan sajian tertulis suatu pembelajaran. Oleh karena itu, semua komponen pembelajaran layak tecermin di dalam buku teks.

1. Hubungan Buku Teks dan Kurikulum
Para guru yang setiap hari berkecimpung dalam dunia pembelajaran akan terasa benar betapa erat hubungan antara kurikulum dan buku teks. Begitu eratnya, terasa hubungan itu saling menunjang antara satu dengan yang lain. Ada sebagian pendapat yang mengatakan bahwa kurikulum lebih dahulu daripada buku teks. Buku teks dianggap sebagai sarana penunjang bagi kurikulum tersebut. Walaupun begitu, tidaklah menutup kemungkinan bahwa kurikulum lahir berdasarkan adanya buku teks yang dianggap relatif baik sehingga perlu disusun programnya secara bersistem.
Pada hakikatnya, kurikulum adalah alat untuk mencapai tujuan pendidikan. Sementara itu, buku teks adalah sarana belajar yang digunakan di sekolah untuk menunjang suatu program pembelajaran. Dengan demikian, keberadaan kurikulum dan buku teks selalu berdekatan dan berkaitan. Atau, dengan perkataan lain, kurikulum itu ibarat resep masakan dan buku teks adalah bahan-bahan yang dilakukan untuk mengolah masakan tersebut. Dalam hal ini pengolah atau juru masaknya adalah guru.
Namun demikian, kurikulum itu tidak bersifat menentukan segalanya. Pada kurikulum KTSP, misalnya, yang pengembangannya dilakukan sepenuhnya oleh sekolah masih diperlukan penafsiran, penjelasan, perincian, dan pemaduan terhadap kompetensi, hasil belajar, indikator, dan materi pokok yang tercantum pada kurikulum itu. Dalam penulisan buku teks, penulis masih perlu menyusun silabus, menentukan metode pembelajaran, mencari bahan yang sesuai dengan kompetensi yang ingin dicapai, dan menentukan cara penyajian bahan yang sesuai dengan perkembangan anak. Mengingat keadaan kurikulum demikian itu, makin besarlah tanggung jawab penulis buku teks untuk menjabarkan kurikulum dalam bentuk silabus. Di samping itu, penulis perlu memahami benar landasan-landasan dan arah yang digunakan dalam penyusunan kurikulum agar penafsiran dan pengembangannya dalam bentuk buku teks dapat dipertanggungjaabkan dari berbagai segi.
Menurut Tyler, ada beberapa pertanyaan yang perlu dijawab dalam proses pengembangan kurikulum.
1) Tujuan apa yang ingin dicapai?

2) Pengalaman belajar apa yang perlu disiapkan untuk mencapai tujuan?
3) Bagaimana pengalaman belajar itu diorganisasikan secara efektif?
4) Bagaimana menentukan keberhasilan pencapaian tujuan?
Keempat pertanyaan tersebut terlihat pada (1) Komponen tujuan, (2) Komponen isi. (3) Komponen metode pembelajaran, dan (4) Komponen evaluasi atau penilaian pada kurikulum.
Komponen tujuan merupakan arah atau sasaran yang hendak dituju oleh proses penyelenggaraan pendidikan. Dalam setiap kegiatan sepatutnya mempunyai tujuan, karena tujuan menuntun kepada apa yang hendak dicapai, atau sebagai gambaran tentang hasil akhir dan suatu kegiatan.
Komponen isi merupakan pengalaman belajar yang diperoleh siswa dari sekolah. Dalam hal ini siswa melakukan berbagai kegiatan dalam rangka memperoleh pengalaman belajar tersebut. Pengalaman-pengalaman ini dirancang dan diorganisasikan sedemikian rupa sehingga apa yang diperoleh siswa sesuai dengan tujuan.
Komponen metode pembelajaran merupakan cara yang dilakukan siswa untuk memperoleh pengalaman belajar untuk mencapai tujuan. Metode kurikulum berkaitan dengan proses pencapaian tujuan sedangkan proses itu sendiri berkaitan dengan bagaimana pengalaman belajar atau isi kurikulum diorganisasikan.
Komponen evaluasi atau penilaian pada kurikulum merupakan cara yang dilakukan untuk mengukur kadar ketercapaian tujuan pembelajaran, baik secara proses maupun hasil. Hasil evaluasi ini dapat dipakai sebagai dasar untuk melakukan perbaikan lebih lanjut agar tujuan pembelajaran yang diidealkan dalam kurikulum dapat tercapai secara maksimal.
Pada sisi lain, setiap pilihan dan bentuk yang diterapkan dalam pengembangan kurikulum akan membawa dampak terhadap proses memperoleh pengalaman yang dilaksanakan. Untuk itu perlu, ada kriteria pola organisasi kurikulum yang efektif.
Menurut Tyler, kriteria dalam merumuskan organisasi kurikulum yang efektif adalah(1) berkesinambungan (continuity), (2) berurutan (sequence), dan (3) keterpaduan (integration). Prinsip berkesinambungan terlihat adanya pengulangan kembali unsur-unsur utama kurikulum secara vertikal. Sebagai contoh, jika dalam Pelajaran Bahasa Indonesia pengembangan keterampilan membaca dipandang sebagai sesuatu yang sangat penting, maka pelatihan membaca perlu dilakukan secara terus-menerus atau berkesinambungan. Dengan demikian, keterampilan siswa dalam membaca dapat berkembang secara efektif melalui pelajaran tersebut. Prinsip berurutan terlihat pada isi kurikulum diorganisasi dengan cara mengurutkan bahan pelajaran sesuai dengan tingkat kedalaman atau keluasannya. Sebagai contoh, pembelajaran keterampilan membaca dimulai dari membaca permulaan sampai dengan membaca lanjut. Dengan demikian, penguasaan siswa terhadap diperoleh secara bertahap dari yang mudah (keterampilan dasar) menuju yang sulit atau kompleks (keterampilan lanjut).
Sementara itu, prinsip keterpaduan menampak pada tidak adanya pemisahan secara dikotomis antara isi yang satu dengan yang lain dalam kurikulum. Hal ini sesuai dengan kenyataan bahwa dalam kehidupan sehari-hari, siswa tidak pernah menerapkan secara terpisah keterampilan tertentu dengan keterampilan yang lain. Mereka selalu menerapkannya secara terpadu. Sebagai contoh, pembelajaran membaca di sekolah sebaiknya dilakukan secara terpadu dengan pembelajaran menulis sehingga keterampilan siswa lebih utuh, tidak terpisah-pisah. Oleh karena itu, pembelajaran berbasis kontekstual dan tematik sangat cocok untuk memenuhi kriteria keterpaduan ini.
Jawaban atas keempat pertanyaan yang dapat digali dari keempat komponen kurikulum tersebut harus dipakai sebagai dasar pengembangkan silabus dan penulisan buku teks.

2. Hubungan Buku Teks dan Tujuan Pembelajaran
Sebelum dijelaskan lebih jauh tentang hubungan buku teks dan tujuan pembelajaran, hasil penelitian tentang ”Hubungan Ketersediaan Buku dan Cara Mempelajarinya dengan Hasil Belajar Siswa dalam Ilmu Pengetahuan Sosial Si Sekolah Menengah Pertama Se-Kota Administratif Palu” yang dilakukan oleh Djamaludin Kantao berikut ini dapat dipakai sebagai ilustrasi awal.
1. Ada perbedaan hasil belajar berdasarkan ketersediaan buku teks di tangan siswa. Kelompok siswa yang ketersediaan buku teksnya berkategori "baik" memperoleh hasil belajar yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan kelompok siswa yang ketersediaan buku teksnya berkategori "cukup". Sedangkan kelompok siswa yang ketersediaan buku teksnya berkategori "cukup" memperoleh hasil belajar yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan kelompok siswa yang ketersediaan buku teksnya berkategori "kurang".
2. Ada perbedaan hasil belajar siswa berdasarkan cara mempelajari buku teks. Kelompok siswa yang selalu menerapkan cara mempelajari buku teks yang baik memperoleh hasil belajar yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan kelompok siswa yang kadang-kadang menerapkan cara mempelajari buku teks yang baik. Sedangkan kelompok siswa yang kadang-kadang menerapkan cara mempelajari buku teks yang baik memperoleh hasil belajar yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan kelompok siswa yang hampir tidak pernah menerapkan cara mempelajari buku teks yang baik.
3. Tidak ada interaksi antara ketersediaan buku teks dengan cara mempelajarinya terhadap hasil belajar siswa. Penemuan ini merupakan suatu petunjuk bahwa mungkin ada interaksi antara cara mempelajari buku teks dengan minat dan sikap siswa terhadap bahan pelajaran dalam buku teks.
Dari hasil-hasil di atas ditarik kesimpulan bahwa hasil belajar siswa tergantung kepada ketersediaan buku teks dan cara mempelajarinnya. Penyediaan buku teks yang lengkap di tangan siswa dan penerapan cara mempelajari buku teks dengan baik akan meningkatkan hasil belajar siswa.
Untuk maningkatkan hasil belajar siswa diperlukan penyediaan buku teks yang lengkap si tangan siswa dan penerapan cara mempelajari buku teks yang baik. Penyediaan buku teks yang lengkap di tangan siswa dapat dilakukan dengan cara: orang tua membelikan buku teks yang sesuai dengan kebutuhan anaknya, perpustakaan sekolah menyediakan buku teks sesuai dengan kebutuhan siswa dan perpustakaan sekolah memberikan pelayanan sebaik-baiknya terhadap siswa. Peningkatan cara mempelajari buku teks yang baik dapat dilakukan dengan cara memberikan bimbingan kepada siswa tentang bagaimana cara mempelajari buku teks dengan baik.
Berdasarkan rangkuman hasil penelitian di atas dapat diketahui betapa hubungan antara buku teks dan tujuan pembelajaran dengan penjelasan sebagai berikut.
a. Buku teks berisi serangkaian uraian materi yang mendukung tujuan pembelajaran.
b. Buku teks berisi serangkaian kegiatan yang mendukung ketercapaian kompetensi tertentu.
Dengan demikian, dengan menggunakan buku teks diharapkan tujuan pembelajaran atau kompetensi yang ingin dicapai dapat terwujud.
Tujuan pembelajaran atau kompetensi akan tercapai apabila penulis buku teks mempertimbangkan hal-hal berikut.
a. Uraian materi yang tertuang dalam buku teks harus diorientasikan pada tujuan pembelajaran dan kompetensi yang telah dirumuskan dalam silabus.
b. Tahapan-tahapan uraian materi harus diarahkan pada indikator-indikator pencapaian tujuan pembelajaran atau pencapaian kompetensi.
c. Setiap tahapan uraian materi sebaiknya difokuskan pada satu indikator pencapaian tujuan pembelajaran atau kompetensi sehingga memudahkan untuk mengukur atau mengevaluasinya.

3. Hubungan Buku Teks dan Siswa
Telah dijelaskan pada bagian 2.1 bahwa buku teks akan berpengaruh terhadap kepribadian siswa, walaupun pengaruh itu tidak sama antara siswa satu dengan lainnya. Dengan membaca buku teks, siswa akan dapat terdorong untuk berpikir dan berbuat yang positif, misalnya memecahkan masalah yang dilontarkan dalam buku teks, mengadakan pengamatan yang disarankan dalam buku teks, atau melakukan pelatihan yang diinstruksikan dalam buku teks. Dengan adanya dorongan yang konstruktif tersebut, maka dorongan atau motif-motif yang tidak baik atau destruktif akan terkurangi atau terhalangi. Oleh karena itu benar apa yang dikatakan oleh Musse dkk (1963:484) bahwa pengaruh buku teks terhadap anak bisa dikelompokkan menjadi dua, yaitu (1) dapat mendorong perkembangan yang baik dan (2) menghalangi perkembangan yang tidak baik.
Memperhatikan fungsi buku teks yang begitu penting bagi siswa, maka sajian buku teks harus memperhatikan (1) pertumbuhan dan perkembangan anak, (2) perbedaan individual dan jenis kebutuhan anak, dan (3) gaya belajar anak. Ketiga hal tersebut diuraikan secara garis besar berikut ini.
Pertumbuhan dan Perkembangan Anak
Perkembangan adalah pola gerakan atau perubahan yang dimulai sejak saat pembuahan dan berlangsung terus selama siklus kehidupan (Santrok dan Yussen,1992). Pola gerakan ini kompleks dan merupakan produk dari beberapa proses, yaitu biologis, kognitif, dan sosial.
Terkait dengan itu, Seifert dan Haffnung membedakan tiga tipe (domain) perkembangan anak, yaitu perkembangan fisik, perkembangan kognitif, dan perkembangan psikososial. Perkembangan fisik mencakup pertumbuhan biologis. Misalnya, pertumbuhan otak, otot, tulang serta penuaan dengan berkurangnya ketajaman pandangan mata dan berkurangnya kekuatan otot-otot. Perkembangan kognitif mencakup perubahan-perubahan dalam berpikir, kemampuan berbahasa yang terjadi melalui proses belajar. Perkembangan psikososial berkaitan dengan perubahan-perubahan emosi dan identitas pribadi individu, yaitu bagaimana seseorang berhubungan dengan keluarga, teman-teman dan guru-gurunya. Ketiga domain tersebut pada kenyataannya saling berhubungan dan saling berpengaruh.
Setiap fase perkembangan pada dasarnya sintesis dari tugas-tugas perkembangan dan tugas-tugas sosial. Oleh karena itu, pada usia-usia tertentu seseorang harus mampu melakukan tugas-tugas perkembangan tersebut agar dapat memberikan kebahagiaan serta memberi jalan bagi tugas-tugas berikutnya. Menurut Havighurst, setiap tahap perkembangan individu harus sejalan dengan perkembangan aspek-aspek lainnya, yaitu fisik, psikis, emosional, moral dan sosial.
Hasil penelitian dan kajian teoretik Carol Gestwicki (1995) mengemukakan bahwa hukum-hukum perkembangan dideskripsikan sebagai berikut.
- Dalam perkembangan terdapat urutan yang dapat diramalkan.
- Perkembangan pada suatu tahap merupakan landasan bagi perkembangan berikutnya.
- Dalam perkembangan terdapat waktu-waktu yang optimal.
- Perkembangan itu maju berkelanjutan dan semua aspek-aspeknya merupakan kesatuan yang saling mempengaruhi.
- Perkembangan itu maju berkelanjutan dan semua aspek-aspeknya merupakan kesatuan yang saling mempengaruhi.
- Setiap individu berkembang sesuai dengan waktunya masing-masing.
- Perkembangan berlangsung dari yang sederhana kepada yang kompleks, dari yang umum kepada yang khusus.
Dalam hal pertumbuhan anak, Sutterly Donnely (1973) mendeskripsikan sepuluh prinsip dasar pertumbuhan sebagai berikut.
- Pertumbuhan adalah kompleks, semua aspek-aspeknya berhubungan sangat erat.
- Pertumbuhan mencakup hal-hal kuantitatif dan kualitatif.
- Pertumbuhan adalah proses yang berkesinambungan dan terjadi secara teratur.
- Pada pertumbuhan dan perkembangan terdapat keteraturan arah.
- Tempo pertumbuhan tiap anak tidak sama.
- Aspek-aspek berbeda dari pertumbuhan, berkembang pada waktu dan kecepatan berbeda.
- Kecepatan dan pola pertumbuhan dapat dimodifikasikan oleh faktor intrinsik dan ekstrinsik.
- Pada pertumbuhan dan perkembangan terdapat masa-masa krisis.
- Pada suatu organisme akan kecenderungan untuk mencapai potensi perkembangan yang maksimum.
- Setiap individu tumbuh dengan caranya sendiri yang unik.

Perbedaan Individual dan Jenis Kebutuhan Anak
Buku teks harus memperhatikan perbedaan individual dan jenis kebutuhan anak, naik anak usia Sekolah Dasar maupun anak usia Sekolah Menengah.
Perbedaan individual anak usia Sekolah Dasar
a. Perbedaan individual seorang anak akan terjadi pada setiap aspek perkembangan anak itu. Aspek perkembangan tersebut di antaranya adalah pada aspek perkembangan fisik, intelektual, moral, maupun aspek kemampuan.
b. Perbedaan pada aspek perkembangan fisik jelas terlihat dari perbedaan bentuk, berat, dan tinggi badan. Selain itu, perbedaan fisik juga dapat diidentifikasi dari segi kesehatan anak. Sedangkan perbedaan pada aspek perkembangan intelektual dapat dilihat sejalan dengan tahapan usia, kemampuan anak pun meningkat. Namun demikian, karena pengaruh berbagai faktor, kemampuan di antara anak-anak tersebut bisa berbeda. Misalnya, si A pada usia 7 tahun sudah bisa membuat suatu karangan yang bersifat aplikasi dari suatu konsep, tetapi si B pada usia yang sama belum bisa melakukan hal yang dilakukan A.
c. Perbedaan kemampuan seorang anak bisa mencakup perbedaan dalam berkomunikasi, bersosialisasi atau perbedaan kemampuan kognitif. Faktor yang menonjol dalam membentuk kemampuan kognitif adalah faktor pembentukan lingkungan alamiah dan lingkungan buatan.

Jenis-Jenis Kebutuhan Anak Usia Sekolah Dasar
a. Istilah “kebutuhan”, “dorongan”, atau “motif” pada kehidupan sehari-hari sering digunakan secara bergantian. Namun demikian, secara konsep ada perbedaan di antaranya. Kebutuhan lebih mengacu pada keadaan di mana seseorang terdorong melakukan sesuatu karena adanya kekurangan pada jaringan-jaringan di dalam dirinya yang lebih bersifat fisiologis; sedangkan dorongan atau motif merupakan kebutuhan tingkat tinggi yang bersifat psikologis.
b. Cole dan Bruce (1959) membagi kebutuhan menjadi dua golongan, yaitu kebutuhan fisiologis dan psikologis; sedangkan A. Maslow (1954) membagi kebutuhan menjadi tujuh tingkatan atau jenjang dari yang mendasar hingga kebutuhan yang paling kompleks.
c. Dalam kaitannya dengan perbedaan individu pada anak usia Sekolah dasar, digunakan penggolongan kebutuhan oleh Lindgren (1980) menjadi empat tingkatan kebutuhan, yaitu kebutuhan jasmaniah, perhatian, dan kasih sayang, kebutuhan untuk memiliki, dan aktualisasi diri.
d. Hurlock (197 menyatakan bahwa dalam pemenuhan beberapa kebutuhan anak, disiplin dapat digunakan. Sedangkan DeCecco dan Grawford (1974) mengajukan empat sikap guru dalam memberikan dan meningkatkan motivasi siswa.
Perbedaan Individu dan Kebutuhan Anak Usia Sekolah Menengah
a. Secara garis besar, perbedaan individu dikategorikan menjadi dua, yaitu perbedaan secara fisik dan psikis. Perbedaan secara psikis meliputi perbedaan dalam tingkat intelektualitas, kepribadian, minat, sikap dan kebiasaan belajar.
b. Dalam pandangan yang lain, perbedaan individual siswa sekolah menengah dibedakan berdasarkan perbedaan dalam kemampuan potensial dan kemampuan nyata. Kemampuan nyata dapat disebut sebagai prestasi belajar.

c. Menurut Witherington, indikator perilaku intelegen antara lain:
(1) kemudahan dalam menggunakan bilangan,
(2) efisiensi dalam berbahasa,
(3) kecepatan dalam pengamatan,
(4) kemudahan dalam mengingat,
(5) kemudahan dalam memahami hubungan, dan
(6) imajinasi.
d. Gage dan Berlinier (1984:165) mempunyai pandangan tentang kepribadian sebagai berikut. “Personality is the integration of all of persons traits abilities, motives as well as his or her temperament, attitudes, opinios, beliefs, emotional responses, cognitive styles, characters and morals.”

e. Menurut Murray, kebutuhan individu dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu viscerogenic dan psychogenic. Kebutuhan psychogenic dibagi lagi menjadi dua puluh kebutuhan. Kebutuhan yang cenderung dominan pada siswa sekolah menengah berdasarkan dua puluh kebutuhan, menurut konsep Murray, adalah:
(1) need for affiliation
(2) need for aggression
(3) autonomy needs
(4) conteraction
(5) need for dominance
(6) exhibition
(7) sex.

Gaya belajar anak
Sama halnya dengan keunikan tiap individu, masing-masing anak ternyata memiliki gaya belajar sendiri. Meski bersekolah di sekolah yang sama dan duduk di kelas yang sama, gaya belajar setiap anak ternyata tidak pernah sama. Perbedaan itu bahkan terdapat pada anak-anak dari satu keluarga, antara adik dan kakak, bahkan anak kembar sekalipun. Perbedaan gaya belajar anak harus terakomodasi pada buku teks.
Sekedar contoh, ada siswa yang begitu tekun menyimak meski si guru menyampaikan materi pelajaran tak ubahnya seperti ceramah selama berjam-jam. Ada yang terkesan hanya memperhatikan sepintas lalu, meski sebetulnya mereka membuat catatan-catatan kecil di bukunya. Namun jangan ditanya berapa banyak anak yang merasa bosan dengan pendekatan belajar yang menempatkan siswa sebagai pendengar setia.
Secara keseluruhan, ada sementara anak yang lebih mudah menangkap isi pelajaran jika disertai praktik. Siswa seperti ini lebih suka berkutat di laboratorium mengamati dan mempelajari berbagai hal nyata dari pada mendengar penjelasan si guru. Sementara itu, yang lain mungkin lebih tertarik mengikuti pelajaran yang disertai berbagai aspek gerak. Contohnya, guru yang menerangkan materi pelajaran kesenian sambil sesekali diselingi nyanyian dan tepuk tangan.
Tidak hanya itu. Selain ada anak yang harus “bersemedi” dan tutup pintu kamar rapat-rapat supaya bisa bekonsentrasi belajar, juga cukup banyak anak yang mengaku justru terbuka pikirannya bila belajar sambil mendengarkan musik, entah yang mengalun merdu atau malah ingar-bingar. Sementara sebagian lainnya merasa perlu untuk mengubah materi pelajaran menjadi komik atau corat-coret yang gampang “dibaca”.
Dari sekian banyak contoh gaya belajar di atas, ada tiga tipe gaya belajar yang biasa dijumpai, yaitu visual learner, auditory learner, dan kinesthetic/tactile learner

Visual Learner
Gaya belajar visual (visual learner) menitikberatkan ketajaman penglihatan. Artinya, bukti-bukti konkret harus diperlihatkan terlebih dahulu agar si anak paham. Ciri-ciri anak yang memiliki gaya belajar visual adalah kebutuhan yang tinggi untuk melihat dan menangkap informasi secara visual sebelum ia memahaminya. Konkretnya, yang bersangkutan lebih mudah menangkap pelajaran lewat materi bergambar. Selain itu, ia memiliki kepekaan yang kuat terhadap warna, di samping mempunyai pemahaman yang cukup terhadap masalah artistik. Hanya saja biasanya ia memiliki kendala untuk berdialog secara langsung karena terlalu reaktif terhadap suara, sehingga sulit mengikuti anjuran secara lisan dan sering salah menginterpretasikan kata atau ucapan.
Untuk mendukung gaya belajar ini, ada beberapa pendekatan yang bisa dipakai. Caranya, gunakan beragam bentuk grafis untuk menyampaikan informasi/materi pelajaran. Perangkat grafis tersebut bisa berupa film, slide, ilustrasi, coretan atau kartu-kartu gambar berseri yang dapat dimanfaatkan untuk menjelaskan suatu informasi secara berurutan. Perhatikan ciri lengkap visual learner pada boks berikut

Ciri Visual Learner
- Senantiasa berusaha melihat bibir guru yang sedang mengajar.
- Saat mendapat petunjuk untuk melakukan sesuatu, biasanya anak akan melihat teman-teman lainnya baru kemudian dia sendiri yang bertindak.
- Cenderung menggunakan gerakan tubuh (untuk mengekspresikan dan menggantikan kata-kata) saat mengungkapkan sesuatu.
- Tak suka bicara di depan kelompok dan tak suka pula mendengarkan orang lain.
- Biasanya kurang mampu mengingat informasi yang diberikan secara lisan.
- Lebih suka peragaan daripada penjelasan lisan.
- Biasanya dapat duduk tenang di tengah situasi yang ribut dan ramai tanpa merasa terganggu.

Auditory Learner
Gaya belajar ini mengandalkan pendengaran untuk bisa memahami sekaligus mengingatnya. Karakteristik model belajar ini benar-benar menempatkan pendengaran sebagai alat utama untuk menyerap informasi atau pengetahuan. Artinya, untuk bisa mengingat dan memahami informasi tertentu, yang bersangkutan haruslah mendengarnya lebih dulu. Mereka yang memiliki gaya belajar ini umumnya susah menyerap secara langsung informasi dalam bentuk tulisan, selain memiliki kesulitan menulis ataupun membaca.
Untuk membantu anak-anak seperti ini, gunakan tape untuk merekam semua materi pelajaran yang diajarkan di sekolah. Selain itu, keterlibatan anak dalam diskusi juga sangat cocok untuk anak seperti ini. Bantuan lain yang bisa diberikan adalah mencoba membacakan informasi, kemudian meringkasnya dalam bentuk lisan dan direkam untuk selanjutnya diperdengarkan dan dipahami. Langkah terakhir adalah melakukan review secara verbal dengan teman. Perhatikan ciri lengkap auditory learner pada boks berikut

Ciri Auditory Learner
- Mampu mengingat dengan baik materi yang didiskusikan dalam kelompok atau kelas.
- Mengenal banyak sekali lagu atau iklan TV, bahkan dapat menirukannya secara tepat dan komplet.
- Cenderung banyak omong.
- Tak suka membaca dan umumnya memang bukan pembaca yang baik karena kurang dapat mengingat dengan baik apa yang baru saja dibacanya.
- Kurang cakap dalam mengerjakan tugas mengarang/menulis.
- Kurang tertarik memperhatikan hal-hal baru di lingkungan sekitarnya, seperti hadirnya anak baru, adanya papan pengumuman di pojok kelas dan sebagainya.

Kinesthetic/Tactile Learner
Gaya belajar ini mengharuskan individu yang bersangkutan menyentuh sesuatu yang memberikan informasi tertentu agar ia bisa mengingatnya. Tentu saja ada beberapa karakteristik model belajar seperti ini yang tak semua orang bisa melakukannya.
Karakter pertama adalah menempatkan tangan sebagai alat penerima informasi utama agar bisa terus mengingatnya. Hanya dengan memegangnya saja, seseorang yang memiliki gaya belajar ini bisa menyerap informasi tanpa harus membaca penjelasannya. Tak heran kalau individu yang memiliki gaya belajar ini merasa bisa belajar lebih baik kalau prosesnya disertai kegiatan fisik. Perhatikan ciri lengkap kinesthetic/tactile learner pada boks berikut

Ciri Kinesthetic/Tactile Learner
- Gemar menyentuh segala sesuatu yang dijumpainya.
- Amat sulit untuk berdiam diri/duduk manis.
- Suka mengerjakan segala sesuatu yang memungkinkan tangannya sedemikian aktif.
- Memiliki koordinasi tubuh yang baik.
- Suka menggunakan objek nyata sebagai alat bantu belajar.
- Mempelajari hal-hal yang abstrak (simbol matematika, peta, dan sebagainya) dirasa amat sulit oleh anak dengan gaya belajar ini.
- Cenderung terlihat “agak tertinggal” dibanding teman sebayanya. Padahal hal ini disebabkan oleh tidak cocoknya gaya belajar anak dengan metode pengajaran yang selama ini lazim diterapkan di sekolah-sekolah.

Apa pun gaya belajar yang dipilih pada dasarnya memiliki tujuan yang sama, yaitu agar yang bersangkutan bisa menangkap materi pelajaran dengan sebaik-baiknya dan memberi hasil optimal. Itulah sebabnya mengapa penuls buku teks harus memahami aneka gaya belajar anak dan diterapkan pada buku teks yang ditulisnya.

4. Hubungan Buku Teks dan Guru
Telah dijelaskan pad bahwa buku teks mempunyai nilai lebih bagi guru. Kelebihan itu terllihat pada hal-hal berikut.
- Buku teks memuat persediaan materi bahan ajar yang memudahkan guru merencanakan jangkauan bahan ajar yang akan disajikannya pada satuan jadwal pengajaran (mingguan, bulanan, caturwulanan, semesteran).
- Buku teks memuat masalah-masalah terpenting dari satu bidang studi.
- Buku teks banyak memuat alat bantu pengajaran, misalnya gambar, skema, diagram, dan peta.
- Buku teks merupakan rekaman yang permanen yang memudahkan untuk mengadakan review di kemudian hari.
- Buku teks memuat bahan ajar yang seragam, yang dibutuhkan untuk kesamaan evaluasi, dan juga kelancaran diskusi.
- Buku teks memungkinkan siswa belajar di rumah.
- Buku teks memuat bahan ajar yang relatif telah tertata menurut sistem dan logika tertentu.
- Buku teks membebaskan guru dari kesibukan mencari bahan ajar sendiri sehingga sebagian waktunya dapat dimanfaatkan untuk kegiatan lain.
Kenyataan lain juga menunjukkan bahwa masih banyak guru yang bergantung penuh pada buku teks sehingga satu-satunya sumber dalam pembelajaran adalah buku teks tersebut. Pada kondisi seperti ini, peran buku teks menjadi penting dan sangat menentukan benar-tidaknya pelaksanaan pembelajaran. Konsekuensinynya, jika sesuatu yang ada dalam buku teks tersebut salah, misalnya, pengetahuan siswa pun akan menjadi salah. Jika kebijakan pemilihan buku teks diberikan kepada guru mata pelajaran, perlulah memberikan bekal yang memadai pada para guru akan kriteria buku teks yang baik dan benar. Namun, jika kebijakan yang diambil adalah membuat buku teks sendiri, perlulah dibuat tim yang benar-benar menguasai materi bidang studi dan tatacara penulisan buku teks yang benar.
Guru menggunakan buku teks karena ia memiliki beberapa fungsi. Sheldon mengajukan tiga alasan utama yang diyakininya mengenai penggunaan buku teks oleh para guru. Pertama, karena mengembangkan materi ajar sendiri sangat sulit dan berat bagi guru. Kedua, guru mempunyai waktu yang terbatas untuk mengembangkan materi baru karena sifat dari profesinya itu. Ketiga, adanya tekanan eksternal yang menekan banyak guru (Sheldon dalam Garinger 2001: 2). Ketiga alasan ini dapat dijadikan bahan pertimbangan oleh guru dalam memilih buku. Penggunaan buku teks merupakan cara yang paling efisien karena waktu untuk mempersiapkan bahan ajar berkurang. Di samping itu, buku menyediakan aktivitas yang sudah siap untuk dilaksanakan dan membekali siswa dengan contoh konkret.
Alasan lain bagi penggunaan buku teks ialah karena buku teks merupakan kerangka kerja yang mengatur dan menjadwalkan waktu kegiatan program pembelajaran. Di mata siswa, tidak ada buku teks berarti tidak ada tujuan. Tanpa buku teks, siswa mengira bahwa mereka tidak ditangani secara serius. Dalam banyak situasi, buku teks dapat berperan sebagai silabus. Buku teks menyediakan teks dan tugas pembelajaran yang siap pakai. Buku teks merupakan cara yang paling mudah untuk menyediakan bahan pembelajaran. Siswa tidak mempunyai fokus yang jelas tanpa adanya buku teks dan ketergantungan pada guru menjadi tinggi. Bagi guru baru yang kurang berpengalaman, buku teks berarti keamanan, petunjuk, dan bantuan. (Ansary, 2002: 2)
Alasan penggunaan buku teks seperti ini hanya berlaku jika:
(1) buku teks memenuhi kebutuhan guru dan siswa;
(2) topik-topik dalam buku teks relevan dan menarik bagi guru dan siswa;
(3) buku teks tidak membatasi kreativitas guru;
(4) buku teks disusun dengan realistik dan memperhitungkan situasi pembelajaran di kelas;
(5) buku teks beradaptasi dengan gaya belajar siswa; dan
(6) buku teks tidak menjadikan guru sebagai budak dan pelayan.
Apabila aspek-aspek ini tidak dipenuhi, maka buku teks hanya akan menjadi masses of rubbish skillfully marketed, seperti diungkapkan oleh Brumfit (Ansary 2002: 2), yang hanya akan menguntungkan secara materi bagi pihak-pihak yang dengan terang-terangan atau sembunyi-sembunyi membisniskan buku teks, dan mencemari dunia pendidikan. Dalam hal seperti ini, sebaiknya guru dibekali dengan pengetahuan bagaimana memilih buku teks dan bagaimana mengaplikasi-kannya secara kreatif di kelas.
Sementara itu, UNESCO menggariskan tiga fungsi pokok dari buku teks, yaitu (1) fungsi informasi, (2) fungsi pengaturan dan pengorganisasian pembelajaran, dan (3) fungsi pemandu pembelajaran. (Seguin 1989:18-19).
Selanjutnya berdasarkan fungsi-fungsi ini, dapat ditentukan jenis-jenis buku yang diperlukan untuk menyertai buku teks, dalam hal ini buku pegangan untuk siswa yang juga dipegang guru dalam KBM, yang biasanya semuanya telah menjadi satu paket, yang terdiri atas (1) buku siswa, (2) buku guru, dan (3) sejumlah komponen yang meliputi: buku kerja atau buku kegiatan, materi bacaan tambahan, dan buku tes (Supriadi, 2000: 1).
Yang perlu diparhatikan adalah, ketika guru menggunakan buku teks dalam pembelajaran, guru harus tetap menerapkan pembelajaran sebagai sosok guru yang konstruktivis dengan ciri-ciri sebagai berikut.
1. Guru mendorong, menerima inisiatif, dan kemandirian siswa.
2. Guru menggunakan data atau fenomena aktual dan kontekstual sebagai sumber utama pada fokus materi pembelajaran.
3. Guru memberikan tugas-tugas kepada siswa yang terarah pada pelatihan kemampuan mengklasifikasi, menganalisis, memprediksi, dan menciptakan.
4. Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menguraikan isi pelajaran dan memvariasikan strategi pembelajaran.
5. Guru melakukan penelusuran pemahaman siswa terhadap suatu konsep sebelum memulai pembelajaran.
6. Guru mendorong terjadinya dialog dengan dan antarsiswa.
7. Guru mendorong siswa untuk berpikir, melalui pertanyaan-pertanyaan terbuka dan mendorong siswa untuk bertanya sesama teman.
8. Guru melakukan elaborasi erhadap respons siswa, baik yang sudah benar maupun yang belum benar.
9. Guru melibatkan siswa pada pengalaman yang menimbulkan kontradiksi dengan hipotesis siswa dan mendiskusikannya.
10. Guru memberikan waktu berpikir yang cukup bagi siswa dalam menjawab pertanyaan.
11. Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk mencoba menghubungkan beberapa hal yang dipelajari untuk meningkatkan pemahaman.
12. Guru mengakhiri pembelajaran dengan memfasilitasi proses penyimpulan melalui acuan yang benar.
(Diadaptasikan Brooks & Brooks, dalam Waliman, dkk. 2001)


5. Hubungan Buku Teks dan Media Pembelajaran
Sebelum mengetahui hubungan buku teks dan media pembelajaran, perlu dipahami terlebih dahulu konsep-konsep pokok yang terkait dengan media pembelajaran sebagai berikut.
a. Media pembelajaran pada hakikatnya merupakan penyalur pesan-pesan pembelajaran yang disampaikan oleh sumber pesan (guru) kepada penerima pesan (siswa) dengan maksud agar pesan-pesan tersebut dapat diserap dengan cepat dan tepat sesuai dengan tujuannya.
b. Konsep media pembelajaran tidak terbatas hanya kepada peralatan (hardware), tetapi yang lebih utama yaitu pesan atau informasi (software) yang disajikan melalui peralatan tersebut. Dengan demikian konsep media pembelajaran itu mengandung pengertian adanya peralatan dan pesan yang disampaikannya dalam satu kesatuan yang utuh.
c. Guru dapat lebih mengefektifkan pencapaian tujuan pembelajaran melalui penggunaan media secara optimal, sebab media ini memiliki fungsi, nilai dan peranan yang sangat menguntungkan, terutama sekali mengurangi terjadinya verbalisme (salah penafsiran) terhadap bahan ajar yang disampaikan pada diri siswa.
d. Ada tiga jenis media pembelajaran yang biasa dipakai dalam pembeljaran, yaitu media visual, media audio, dan media audio-visual. Dari masing-masing jenis media tersebut terdapat berbagai bentuk media yang dapat dikembangkan dalam kegiatan belajar-mengajar. Media mana yang akan digunakan tergantung kepada tujuan yang ingin dicapai, sifat bahan ajar, ketersediaan media tersebut, dan juga kemampuan guru dalam menggunakannya.
e. Setiap media memiliki kelebihan dan keterbatasan. Oleh karena itu, tidak ada media yang dapat digunakan untuk semua situasi atau tujuan pembelajaran

f. Pemilihan media pembelajaran pada hakikatnya merupakan proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh guru untuk menentukan jenis media mana yang lebih tepat digunakan dan sesuai dengan tujuan pembelajaran, sifat materi yang akan disampaikan, strategi yang digunakan, serta evaluasinya. Adanya pemilihan media ini disebabkan sangat banyak dan bervariasinya jenis media dengan karakteristik yang berbeda-beda.
g. Penggunaan media pembelajaran perlu memperhatikan tujuan yang ingin dicapai, sifat dari bahan ajar, karakteristik sasaran belajar (siswa), dan kondisi tempat/ruangan. Juga perlu dipertimbangkan kesederhanaannya, menarik perhatian, adanya penonjolan/penekanan (misalnya dengan warna), direncanakan dengan baik, serta memungkinkan siswa lebih aktif belajar.
Media memiliki beberapa fungsi, di antaranya sebagai berikut.
1. Media pembelajaran dapat mengatasi keterbatasan pengalaman yang dimiliki oleh para peserta didik. Pengalaman tiap peserta didik berbeda-beda, tergantung dari faktor-faktor yang menentukan kekayaan pengalaman anak, seperti ketersediaan buku, kesempatan melancong, dan sebagainya. Media pembelajaran dapat mengatasi perbedaan tersebut. Jika peserta didik tidak mungkin dibawa ke objek langsung yang dipelajari, maka objeknyalah yang dibawa ke peserta didik. Objek dimaksud bisa dalam bentuk nyata, miniatur, model, maupun bentuk gambar-gambar yang dapat disajikan secara audio visual dan audial.
2. Media pembelajaran dapat melampaui batasan ruang kelas. Banyak hal yang tidak mungkin dialami secara langsung di dalam kelas oleh para peserta didik tentang suatu objek, yang disebabkan, karena : (a) objek terlalu besar; (b) objek terlalu kecil; (c) objek yang bergerak terlalu lambat; (d) objek yang bergerak terlalu cepat; (e) objek yang terlalu kompleks; (f) objek yang bunyinya terlalu halus; (f) objek mengandung berbahaya dan resiko tinggi. Melalui penggunaan media yang tepat, maka semua objek itu dapat disajikan kepada peserta didik.
3. Media pembelajaran memungkinkan adanya interaksi langsung antara peserta didik dengan lingkungannya.
4. Media menghasilkan keseragaman pengamatan
5. Media dapat menanamkan konsep dasar yang benar, konkret, dan realistis.
6. Media membangkitkan keinginan dan minat baru.
7. Media membangkitkan motivasi dan merangsang anak untuk belajar.
8. Media memberikan pengalaman yang integral atau menyeluruh dari yang konkret sampai dengan abstrak

Berdasarkan konsep-konsep pokok tentang media pembelajaran di atas jelaslah bahwa buku teks merupakan salah satu jenis media pembelajaran. Hanya saja, bila dibanding dengan media pembelajaran lainnya, buku teks mempunyai fungsi “lebih” dari pada sekedar media pembelajaran. Buku teks tidak hanya sebagai “penyalur pesan” tetapi juga sebagai sumber pesan atau sebagai pengganti guru. Dengan membaca buku teks, siswa seolah-olah berhadapan dengan guru. Siswa dapat memperoleh informasi lewat buku teks, siswa dapat melakukan kegiatan sesuai dengan petunjuk yang tertuang dalam buku teks, dan siswa dapat mengukur kadar ketercapaian pembelajaran dengan cara mengerjakan tugas-tugas atau menjawab soal-soal yang terdapat dalam buku teks.

6. Hubungan Buku Teks dan Strategi Pembelajaran
Sebelum mengetahui hubungan buku teks dan strategi pembelajaran, perlu dipahami terlebih dahulu konsep-konsep pokok yang terkait dengan strategi pembelajaran sebagai berikut.
a. Belajar merupakan proses mental dan emosional atau aktivitas pikiran dan perasaan.
b. Hasil belajar berupa perubahan perilaku, baik yang menyangkut kognitif, psikomotorik, maupun afektif.
c. Belajar berkat mengalami, baik mengalami secara langsung maupun mengalami secara tidak langsung (melalui media). Dengan kata lain belajar terjadi di dalam interaksi dengan lingkungan. (lingkungan fisik dan lingkungan sosial).
d. Keterlibatan dalam pengalaman belajar mempunyai pengaruh penting terhadap pembelajaran.
e. Pembelajaran merupakan suatu sistem lingkungan belajar yang terdiri dari unsur: tujuan, bahan pelajaran, strategi, alat, siswa, dan guru.Semua unsur atau komponen tersebut saling berkaitan, saling mempengaruhi; dan semuanya berfungsi dengan berorientasi kepada tujuan
f. Suasana yang bebas dan penuh kepercayaan akan menunjang kehendak peserta didik untuk mau melaksanakan tugas sekalipun mengandung risiko.
g. Strategi yang mendalam dapat dipergunakan namun pengaruh penting terhadap beberapa aspek, seperti; usia, kematangan, kepercayaan dan penghargaan terhadap orang lain.
h. Pada umumnya pembelajaran berpengaruh kepada hal-hal khusus seperti menghargai orang lain dan bersikap hati-hati kepada yang baru dikenal.
i. Terdapat banyak pengaruh yang dapat dipelajari melalui model (contoh) sedang peserta didik berusaha menirunya.
j. Pada awal pembelajaran, langkah pertama yang perlu dilakukan ialah mengenali modalitas kita masing-masing yaitu bagaimana menyerap informasi dengan mudah. Apakah modalitas kita visual, yaitu belajar melalui apa yang dilihat, apakah auditorial yaitu belajar melalui apa yang didengar, apakah kinestetik, yaitu belajar melalui gerak dan sentuhan.
Supaya pembelajaran terjadi secara efektif perlu diperhatikan beberapa prinsip, yaitu motivasi, perhatian, aktivitas, umpan balik, dan perbedaan individu.
d. Motivasi adalah dorongan untuk melakukan kegiatan belajar, baik motivasi intrinsik maupun motivasi ekstrinsik. Motivasi intrinsik dinilai lebih baik, karena berkaitan langsung dengan tujuan pembelajaran itu sendiri.
e. Perhatian atau pemusatan energi psikis terhadap pelajaran erat kaitannya dengan motivasi. Untuk memusatkan perhatian siswa terhadap pelajaran bisa didasarkan terhadap diri siswa itu sendiri dan atau terhadap situasi pembelajarannya.
f. Aktivitas merupakan salah satu indikator belajar. Bila pikiran dan perasaan siswa tidak terlibat aktif dalam situasi pembelajaran, pada hakikatnya siswa tersebut tidak belajar. Penggunaan metode dan media yang bervariasi dapat merangsang siswa lebih aktif belajar.
g. Umpan balik di dalam belajar sangat penting, agar siswa segera mengetahui benar tidaknya pekerjaan yang ia lakukan. Umpan balik dari guru sebaiknya yang mampu menyadarkan siswa terhadap kesalahan mereka dan meningkatkan pemahaman siswa akan pelajaran tersebut.
h. Perbedaan individual adalah individu tersendiri yang memiliki perbedaan dari yang lain. Guru hendaknya mampu memperhatikan dan melayani siswa sesuai dengan hakikat mereka masing-masing. Berkaitan dengan ini catatan pribadi setiap siswa sangat diperlukan.
Terkait dengan konsep-konsep pokok strategi pembelajaran di atas, buku teks hendaknya mampu mengomunikasikan materi dan menyampaikan informasi dengan menggunakan berbagai metode pembelajaran agar setiap anak dapat menyerap dan memahaminya untuk kemudian digunakan pada saat diperlukan. Hal ini hanya dapat dicapai bila penulis buku teks mengetahui karakteristik siswa yang visual, yang auditorial maupun yang kinestik.
Buku teks tradisional yang mementingkan perkembangan intelektual haruslah diubah. Buku teks modern lebih memperhatikan karakteristik kepribadian anak, baik mengenai segi emosi, sosial, jasmani maupun segi intelektualnya. Penulis buku teks berusaha dengan sengaja mengembangkan semua aspek pribadi anak dengan memberikan bahan pembelajaran yang sesuai dan dengan cara penyampaian yang bervariasi. Hal ini mengingat bahwa sebenarnya pribadi anak itu tidak dapat dipecah-pecah menjadi beberapa bagian yang terpisah-pisah. Dalam segala tindakannya manusia itu bersikap sebagai suatu keseluruhan yang utuh.

 

leave me alone please don't cry Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea